SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Vasektomi Bersyarat: Kontrol Negara atas ‘Rahim’ Rakyat

  • Jurnalistika

    30 Apr 2025 | 11:05 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi. (Pixabay)

jurnalistika.id – Usulan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, agar penerima bantuan sosial dan beasiswa dari pemerintah diwajibkan mengikuti program Keluarga Berencana, khususnya vasektomi bagi pria, memunculkan keprihatinan serius.

Kebijakan itu disebut bertujuan mengurangi beban fiskal negara sekaligus mendorong keterlibatan laki-laki dalam urusan reproduksi. Namun di balik narasi pemerataan bantuan dan efisiensi sosial, tersimpan potensi pelanggaran hak dasar yang tak bisa dianggap sepele.

“Jangan membebani reproduksi hanya perempuan. Perempuan jangan menanggung beban reproduksi, sabab nu beukian mah salakina. Harus laki-lakinya. Kenapa harus laki-laki? Karena misalnya nanti perempuannya banyak problem. Misalnya lupa minum pilnya atau lainnya,” tutur Dedi di Bandung, Senin (28/4) dikutip dari Antara.

Baca juga: Ramai Bahas Vasektomi, Kenali Prosedur, Efek Samping, hingga Manfaatnya

Bahkan, Dedi Mulyadi menyarankan ketika menuruntkan bansos akan ada pemeriksaan terlebih dahulu.

“Jadi ketika nanti kami menurunkan bantuan, dicek dulu. Sudah ber-KB atau belum. Kalau sudah ber-KB boleh terima bantuan. Jika belum ber-KB, KB dulu,” lanjutnya.

Gagasan untuk mengintegrasikan kebijakan bantuan sosial dengan intervensi tubuh warga, baik secara langsung maupun terselubung, bukan hal baru dalam sejarah politik pembangunan.

Namun ketika negara mulai mempersyaratkan tindakan medis permanen seperti vasektomi demi sekeping bantuan, maka batas antara kebijakan sosial dan pemaksaan reproduktif menjadi sangat tipis.

Ironi Sosial: Mengatur yang Miskin, Bukan Menghapus Kemiskinan

Vasektomi, seperti juga metode kontrasepsi lainnya, adalah hak dan pilihan pribadi. Negara boleh menganjurkan, mengedukasi, bahkan memfasilitasi program KB.

Namun, menjadikan prosedur medis sebagai syarat administratif untuk mendapatkan hak sosial adalah bentuk kontrol yang melampaui batas etika kebijakan.

Ia menjadikan tubuh sebagai komoditas, dan reproduksi sebagai angka statistik yang bisa ditekan demi stabilitas fiskal.

Tentu dapat dipahami niat baik dari kebijakan pengendalian kelahiran, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup keluarga.

Baca juga: Mengapa Makanan Basah Penting untuk Kesehatan Kucing Anda?

Argumentasi Gubernur bahwa keluarga miskin cenderung memiliki banyak anak, dan karena itu perlu dikendalikan, mencerminkan sebuah ironi sosial yang klasik. Menyalahkan korban atas kondisi struktural yang diciptakan oleh ketimpangan kebijakan selama bertahun-tahun.

Relasi antara kemiskinan dan jumlah anak bukanlah hubungan sebab-akibat yang sesederhana logika birokrasi. Tingginya angka kelahiran di kelompok prasejahtera adalah cermin dari minimnya pendidikan, terbatasnya akses layanan kesehatan, dan rendahnya daya jangkau program keluarga berencana yang humanis.

Maka menjadi tidak adil jika negara menyasar kelompok miskin untuk “dikendalikan”, sementara akar masalah strukturalnya tetap dibiarkan.

Keluarga miskin bukan “beban”, melainkan korban dari sistem yang gagal menciptakan keadilan distribusi sumber daya. Negara tidak bisa melempar tanggung jawab itu ke dapur rakyat dengan cara meminta mereka “berhenti punya anak”.

Bukankah keadilan sosial justru mengharuskan negara hadir memperluas pilihan dan daya hidup warga, bukan membatasinya lewat syarat-syarat medis yang tidak semua orang pahami implikasinya?

Berpotensi Langgar HAM

Dari sisi hak asasi manusia, kebijakan ini juga mengandung risiko serius. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan kehidupan reproduksinya sendiri.

Ketika pemerintah menjadikan vasektomi sebagai prasyarat menerima bantuan, secara tidak langsung negara tengah memonopoli keputusan reproduksi rakyat miskin.

Tindakan itu berpotensi sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip bodily autonomy yang dijamin dalam berbagai konvensi hak asasi manusia.

Baca juga: Mengenang 4 Tokoh Buruh Indonesia dan Jasanya yang Tak Terlupakan

Misalnya dalam Pasal 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menyatakan hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental setinggi-tingginya.

Hal itu mencakup hak untuk merencanakan keluarga, memilih metode kontrasepsi, atau memilih tidak menggunakan kontrasepsi, yang harus bersifat sukarela dan tanpa paksaan

Ketika bantuan sosial, yang semestinya bersifat non-diskriminatif, disyaratkan dengan prosedur medis, maka pilihan itu menjadi semu.

Mereka yang menolak vasektomi mungkin harus hidup tanpa bantuan, sedangkan yang menerima, bisa jadi melakukannya karena terpaksa. Dalam konteks ini, kebijakan berubah dari pemberdayaan menjadi pemaksaan.

Bisa Jadi Pemicu Konflik Domestik Baru

Ironisnya, alih-alih memperkuat posisi perempuan dalam keluarga, kebijakan ini bisa memperlemah daya tawar mereka. Di banyak komunitas, keputusan medis tetap berada di tangan laki-laki.

Jika negara mewajibkan KB pria tanpa memastikan adanya literasi, kesadaran, dan pendampingan psikososial yang memadai, maka ia justru membuka ruang konflik domestik baru yang tak kalah problematik.

Perlu juga mewaspadai pendekatan yang menempatkan keluarga miskin sebagai beban anggaran. Ketika Gubernur menyebut persalinan sesar bernilai Rp25 juta lebih baik digunakan untuk membangun rumah, ia sedang memosisikan kelahiran sebagai kerugian fiskal.

Pandangan seperti ini tidak hanya merendahkan hak kesehatan ibu dan anak, tetapi juga mengabaikan tugas konstitusional negara untuk melindungi kehidupan sejak awal.

Apakah Solusi Ekonomi?

Pertanyaannya, apakah kebijakan ini benar-benar efektif dari sudut pandang ekonomi dan pembangunan? Jawabannya meragukan.

Pemangkasan angka kelahiran tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan. Tanpa investasi pada pendidikan, keterampilan kerja, dan distribusi ekonomi yang adil, jumlah anak sedikit pun tidak menjamin perbaikan hidup. Yang ada, rakyat hanya dibungkam secara biologis, tapi tetap dibiarkan dalam kemiskinan struktural.

Mendorong laki-laki berperan dalam KB tentu perlu diapresiasi. Selama ini tanggung jawab kontrasepsi kerap dibebankan pada perempuan.

Namun keterlibatan laki-laki harus berbasis kesadaran, bukan syarat bantuan. Jika tidak, bisa jadi hanya akan menciptakan masyarakat yang tunduk karena lapar, bukan karena paham.

Negara boleh mengatur birokrasi, tapi tidak bisa mengatur tubuh warganya. Tubuh bukan milik negara. Ia milik individu, yang martabatnya dijamin oleh konstitusi.

Kesejahteraan tidak boleh dibangun di atas intervensi paksa terhadap tubuh rakyat yang paling rentan. Dalam demokrasi, kebijakan seharusnya memperluas pilihan, bukan mempersempitnya lewat imbalan yang menggoda tapi mengandung risiko permanen.

Akhirnya, semua harus kembali ke prinsip dasar bahwa keadilan sosial tidak bisa diraih lewat kontrol terhadap rahim atau saluran reproduksi. Ia hanya bisa dicapai melalui kebijakan yang menghormati martabat, memperkuat literasi, dan membuka akses pada layanan yang layak.

Jika tidak, negara hanya akan melanjutkan sejarah lama: mengatur tubuh orang miskin demi stabilitas, sembari membiarkan ketimpangan tetap tumbuh tanpa henti.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

(Opini)

Opini

vasektomi



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.