SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Semua Aku Dipajaki – (Sepotong Cerpen Fiksi)

  • Jurnalistika

    15 Agt 2025 | 09:45 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi cerpen, Semua Aku Dipajaki.

jurnalistika.id – Suatu masa di Negeri Jitika, langit pagi selalu biru, tapi kantong rakyat selalu kelabu. Negeri ini berdiri di atas tanah yang subur, lautnya kaya akan ikan, gunungnya penuh mineral.

Namun, entah mengapa, rakyatnya tetap hidup seperti menunggu sisa remah di meja pesta para penguasa.

Menteri Keuangan mereka, Sri Ayu Sengkuni, adalah wanita yang kata-katanya licin seperti belut di lumpur. Ia berjalan di lorong-lorong kekuasaan dengan setelan jas mahal yang memantulkan cahaya lampu istana seperti cermin kecil.

Orang-orang di sekitarnya memanggilnya “Arsitek Stabilitas Fiskal,” tapi di telinga rakyat, julukan itu terdengar seperti “Tukang Pungut Upeti.”

Suatu sore, dalam siaran langsung yang dipancarkan ke seluruh negeri, ia berdiri di balik podium emas.

“Pajak adalah zakat negara,” ucapnya, bibirnya melengkung seperti bulan sabit yang dingin.

“Setiap warga negara yang mendapatkan penghasilan, sekecil apa pun, wajib menyumbang demi kemajuan bersama.”

Ia tak membedakan antara pengusaha tambang yang mengeruk perut bumi dan penjual gorengan di ujung gang yang menggoreng tahu setengah matang untuk anak-anak sekolah. Semua harus membayar. Semua harus menyetor.

Dalam benaknya, roda negara hanya akan berputar jika setiap jari rakyat mengorek dompetnya.

Mata Sengkuni, begitu panggilan akrabnya, sangat jeli melihat potensi untuk menarik pajak. Kejelian ini barangkali muncul akibat desakan sang atasan, atau karena desakan kas negara yang kian anjlok.

Terlebih di era digital yang kian pesat. Tangan Sengkuni mulai meraba usaha-usaha di dunia maya, sebab pajak dari dunia nyata tak cukup untuk target pendapatannya.

Ia tak peduli, kompromi dengan masyarakat urusan belakangan. Kebijakan memajaki yang utama, soal rakyat tidak suka, itu urusan media bayaran yang mengatur.

Namun, keputusan Sengkuni tak berhenti di situ. Ia memerintahkan pemangkasan besar-besaran pada anggaran pendidikan. “Efisiensi,” katanya.

Baca juga: Demo di Pati: Peringatan Bahwa Rakyat Adalah Tuannya

Padahal sekolah-sekolah di desa masih mengajar dengan papan tulis yang sudah setengah mengelupas, dan guru-guru hidup dengan gaji yang bahkan kalah dibanding ongkos parkir bulanan di pusat kota.

Di ruang guru sebuah sekolah dasar di pinggiran Jitika, seorang pengajar tua, Bu Ningsih, menatap slip gajinya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau begini terus,” gumamnya, “entah anak-anak kita akan belajar dari buku… atau dari papan iklan rokok di jalan.”

Tak hanya Bu Ningsih, kondisi serupa juga banyak dirasakan oleh guru-guru di Negeri Jatika. Mereka hanya bisa bergumam, sebab bicara hanya menghabiskan tenaga.

Pernah suatu ketika, beberapa guru menyampaikan kondisi mereka kepada negara di ruang terkhormat para wakil rakyat. Sambil menangis terisak, para guru menyampaikan keluhannya.

Namun, hanya sabar jawab yang mereka terima. Sambil bertanya, lantas akan seperti apa lagi hidup mereka jika Sengkuni juga harus memangkas anggaran pendidikan di Negeri Jatika.

Tiga Api yang Menyala

Hingga suatu saat, di kampus tua dengan genteng yang rembes setiap hujan, Rani, mahasiswi ilmu sosial, membaca berita itu sambil menggenggam erat buku catatannya.

Matanya panas, dadanya sesak. “Kalau ini dibiarkan,” katanya kepada kawannya, “kita akan bayar pajak untuk buku yang tak bisa kita beli, bayar kuliah yang tak bisa kita nikmati.”

Sementara di gang sempit pasar Kota Lama, Pak Samin, penjual mie ayam, menghitung uang receh di laci gerobaknya. Hujan membuat kakinya becek, tapi yang lebih membuatnya dingin adalah surat pemberitahuan pajak yang baru ia terima.

Jumlahnya cukup untuk membuatnya memilih antara membayar kewajiban atau membeli beras untuk anaknya.

“Dulu rezeki kita dipotong karena rugi,” ujarnya, “sekarang dipotong karena pajak.”

Perasaan serupa terasa di sebuah pabrik tekstil yang penuh bau pewarna kain, Tari, seorang buruh, menatap slip gaji dengan senyum pahit.

Potongan demi potongan membuat upahnya seperti kain yang terus digunting hingga tinggal serpihan.

Mereka bertiga tak saling kenal, tapi di dada mereka, api yang sama menyala: amarah pada kebijakan yang menggigit tulang rakyat.

Benih Perlawanan

Perlawanan atas perasaan yang sama pun tiba. Rani memulai pergerakan di kampus. Ia menulis di media sosial.

“Pajak yang menindas adalah perampokan bersertifikat. Jangan biarkan dompet rakyat menjadi ladang panen kekuasaan.”

Tulisan itu dibagikan ribuan kali, menyebar seperti embun pagi yang diam-diam membasahi seluruh halaman.

Mahasiswa dari kampus lain mulai ikut bersuara, mengadakan diskusi terbuka, mengumpulkan tanda tangan penolakan.

Lewat arus bawah, mereka diam-diam mengumpulkan suara. Sebab berjalan di atas tanah kerap tercium oleh mata dan telinga penguasa, yang bisa-bisa membuat mereka hilang tanpa berita.

Pak Samin tidak diam. Ia mengajak pedagang pasar untuk mogok jualan sehari.

“Kalau mereka mau uang dari kita, biar mereka tahu rasanya sehari tanpa pemasukan,” serunya di tengah kerumunan.

Meski takut, banyak pedagang mengangguk. Perasaan untuk mendapat keadilan menyatukan mereka dalam satu kata “perlawanan”.

Sementara itu, Tari dan kawan-kawan buruh mengajukan mosi protes kepada manajemen pabrik. Ketika tuntutan mereka diabaikan, ia memimpin aksi keluar massal dari pabrik.

Tiga benih perlawanan ini pun terus dipupuk. Hingga menjadi pohon yang kuat dan siap menerpa badai.

Gelombang yang Membesar

Di awal, aksi-aksi itu hanya percikan. Tapi percikan yang jatuh di lahan kering akan menjadi api. Media sosial dipenuhi foto spanduk, video orasi, dan wajah-wajah marah.

Rani, Pak Samin, dan Tari akhirnya bertemu di sebuah rapat gabungan aliansi rakyat. Mereka duduk di tikar lusuh di balai warga, merencanakan langkah berikutnya.

“Aksi kita harus besar, serentak, dan tak bisa diabaikan,” kata Rani, suaranya mantap.

“Kita serbu alun-alun, ajak semua orang yang dompetnya bolong karena kebijakan ini,” sambung Tari.

Pak Samin mengangguk. “Kalau sudah di sana, jangan pulang sebelum mereka dengar.”

Tiga kekuatan lantas di direkatkan dalam satu tujuan. Para mahasiswa, buruh, dan rakyat miskin kota sepakat untuk melakukan perlawanan satu komando.

Benturan di Jantung Kota

Tibalah waktunya perlawanan ditunjukkan. Hari itu, ribuan orang tumpah ke jalan.

Mahasiswa membawa buku sebagai simbol, pedagang membawa gerobak kosong, buruh membawa potongan kain. Mereka berjalan dari sudut-sudut kota menuju satu titik: gerbang istana.

Sri Ayu Sengkuni menatap dari jendela kantornya. Di wajahnya, ada senyum tipis, senyum orang yang mengira badai bisa diredam dengan payung kecil.

“Sebar pasukan keamanan. Ini hanya riak kecil,” perintahnya.

Sayangnya, yang tidak diduganya, “riak kecil” itu berubah menjadi gelombang. Gas air mata menebar, pentungan menghantam udara.

Namun, Semangat rakyat bertahan. Mereka bernyanyi, meneriakkan yel-yel, dan mengetuk pintu kekuasaan dengan langkah-langkah yang tak mau surut.

Beribu kali massa aksi dipukul mundur oleh aparat yang menjadi boneka pemerintah Negeri Jatika, mereka tetap bertahan. Aksi terus dilanjutkan.

Sebab, dalam benak para mahasiswa, buruh, dan rakyat miskin kota hanya ada satu, yakni “kemenangan harus didapatkan”.

Runtuhnya Sebuah Kursi

Akibat gelombang besar yang terjadi ini, semangat melebar ke penjuri negeri yang ternyata juga merasakan hal serupa. Api perlawanan pun perlahan terbakar di daerah-daerah.

Petani yang rupanya juga merasa kena imbas atas kebijakan Sri Ayu Sengkuni, tidak pikir panjang. Mereka melakukan perkumpulan dan bergabung dengan aksi massa yang sudah bergerak di pusat daerah masing-masing.

Hal ini menjadi tekanan besar bagi pemerintah Negeri Jataki. Sebab, tekanan datang bukan hanya dari jalanan, tapi juga dari media internasional, lembaga hak asasi manusia, dan bahkan sebagian pejabat yang mulai takut kehilangan kursinya sendiri. Dalam hitungan hari, pemerintahan Jitika goyah.

Sri Ayu Sengkuni akhirnya diberhentikan. Kebijakan pajak rakyat kecil dibatalkan, anggaran pendidikan dikembalikan.

Pemerintahan yang menaunginya pun jatuh, digantikan oleh kepemimpinan sementara yang berjanji “mendengar rakyat.”

Malam Kemenangan

Di alun-alun Jitika, Rani, Pak Samin, dan Tari berdiri menatap langit malam. Mereka tak pernah merencanakan akan berjuang bersama, tapi darah dan keringat mereka telah bercampur di jalanan.

“Sekarang apa?” tanya Tari, menatap bintang yang malu-malu di balik awan.

“Kita kawal, supaya mereka tak mengulang,” jawab Rani, menggenggam buku catatannya.

Pak Samin menghela napas lega. “Karena kalau tidak, semua kita… akan dipajaki lagi.”

Langit Jitika tetap biru di siang hari, tapi kini ada sesuatu yang berubah: kantong rakyat mulai belajar bernapas lagi.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.


Disclaimer:
Cerita ini adalah karya fiksi. Semua nama tokoh, tempat, peristiwa, dan kebijakan yang digambarkan hanyalah hasil imajinasi penulis. Jika ada kesamaan dengan kejadian, nama, atau situasi di dunia nyata, hal tersebut semata-mata kebetulan dan tidak disengaja.

Ditulis oleh: Lamboroada

cerpen

semua aku dipajaki



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.