jurnalistika.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto telah berjalan sejak Januari 2025. Tujuan program ini memperbaiki gizi anak bangsa sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat lokal.
Dikutip dari situs Ombudsman, program MBG menargetkan 82,9 juta penerima manfaat dengan alokasi anggaran Rp71 triliun pada 2025 dan menempatkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai koordinator utama.
Sementara, dalam APBN 2026, anggaran menjadi lebih jumbo mencapai Rp335 triliun pada 2026. MBG bahkan menjadi program dengan alokasi dana terbesar dalam APBN.
Besaran ini sekaligus menegaskan betapa strategisnya program tersebut, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.
Baca juga: Ombudsman Cium Afiliasi Politik di Balik Yayasan Program MBG
Namun, di balik semangat mulia tersebut, ada bayangan risiko serius, monopoli dalam sistem pengadaan MBG. Jika tidak dikawal ketat, sistem yang semestinya memberdayakan UMKM lokal justru bisa menjadi ladang monopoli kelompok tertentu, baik lewat yayasan, koperasi, maupun perusahaan yang menguasai hulu hingga hilir rantai pasok.
Tidak berlebihan jika ada yang mempertanyakan, apakah dana raksasa tersebut benar-benar akan mengalir ke UMKM, petani, dan nelayan lokal? Ataukah justru berpotensi terkonsentrasi pada kelompok-kelompok tertentu yang menciptakan monopoli berkedok pemberdayaan masyarakat?
Ruang Monopoli di Balik Skema Pengadaan
Secara aturan, BGN (Badan Gizi Nasional) membuka kesempatan luas bagi siapa saja untuk menjadi mitra MBG. Syaratnya pun cukup ketat, memiliki lahan minimal 300 meter persegi untuk dapur, standar keamanan pangan HACCP, perizinan lengkap, hingga tenaga kerja terlatih. Di atas kertas, sistem ini terlihat transparan.
Namun, jika ditelisik lebih jauh, syarat yang rumit dan modal besar membuka celah tersendiri. Alih-alih memberi ruang bagi UMKM kuliner kecil, hanya entitas yang punya modal besar, misalnya yayasan, koperasi besar, atau bahkan perusahaan yang mendirikan badan usaha sendiri, yang paling mungkin lolos verifikasi.
Baca juga: Cucu Keracunan MBG, Mahfud MD Sindir Klaim 0,0017% Prabowo
Di titik inilah potensi monopoli mulai terlihat. Sebuah kelompok dengan akses modal dan jaringan bisa saja mendirikan yayasan resmi untuk lolos sebagai mitra MBG.
Setelah itu, bahan pangan yang seharusnya diperoleh dari petani atau nelayan lokal dapat dipasok dari unit usaha mereka sendiri.
Secara formal, skema ini bisa tetap mengatasnamakan “UMKM lokal”, padahal pada kenyataannya rantai pasok tetap dikuasai oleh kelompok yang sama.
Risiko Kualitas, Efisiensi ke Bahaya
Monopoli tidak hanya berimplikasi pada distribusi keuntungan ekonomi, tetapi mungkin bisa langsung menyentuh kualitas makanan yang diterima masyarakat.
Ketika satu kelompok menguasai rantai pasok, prinsip persaingan sehat hilang. Tidak ada lagi tekanan pasar untuk menjaga mutu, sebab pemasok lain tersisih.
Dampaknya bisa fatal, bahan pangan dipasok seadanya untuk menekan biaya, standar pengolahan di dapur dilonggarkan, bahkan variasi menu bergizi yang dijanjikan bisa dikurangi.
Bahkan, apabila hal ini terjadi, bisa saja menjadi penyebab banyaknya kasus keracunan yang terungkap belakangan ini di berbagai daerah.
Baca juga: Korban Keracunan MBG Capai 8.649 Orang, Benarkah Cuma 0,0017 Persen Seperti Kata Prabowo?
Kekhawatiran itu bukan sekadar spekulasi. Ombudsman RI dalam kajiannya mengingatkan adanya indikasi afiliasi sejumlah yayasan mitra MBG dengan jejaring politik.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serius. Dana yang semestinya digelontorkan untuk gizi anak bangsa bisa saja berubah arah menjadi ladang konsolidasi kekuasaan.
Apalagi, dari 60.500 yayasan yang mendaftar, ribuan di antaranya masih belum jelas statusnya. Proses verifikasi yang lambat, tidak transparan, dan tanpa standar waktu baku membuka ruang maladministrasi struktural. Celah ini rawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya kedekatan dengan pengambil keputusan.
Dengan monopoli, risiko semacam ini semakin besar. Pasalnya, ketika pengawasan lemah, kelompok dominan bisa lebih mudah “berhemat” dengan kualitas rendah tanpa takut kehilangan kontrak.
Anggaran Jumbo, Risiko Sentralisasi
Dengan anggaran harian yang mencapai Rp1,2 triliun, MBG merupakan proyek yang bisa menciptakan “ekonomi baru” dalam skala nasional.
Artinya, siapa yang memegang kendali atas rantai distribusi pangan MBG akan memegang kunci dominasi ekonomi lokal di banyak daerah.
Jika kontrol hanya jatuh ke segelintir yayasan atau kelompok usaha, maka manfaat yang dijanjikan, yakni pemberdayaan UMKM, petani, dan nelayan, bisa berbalik arah.
Baca juga: Ribuan Siswa Keracunan, Ombudsman Soroti Kegagalan Program MBG
Ekonomi lokal bukannya bangkit, melainkan hanya menjadi penonton dari sebuah sistem distribusi yang terpusat.
Dalam praktiknya, kasus seperti ini sudah jamak ditemui dalam berbagai program bantuan pangan. Pihak dengan jaringan kuat biasanya mampu menguasai hulu hingga hilir, dari pengadaan bahan, pengelolaan dapur, distribusi, hingga pencairan dana.
Akibatnya, program yang didesain untuk memberdayakan masyarakat justru berujung memperkaya segelintir aktor.
Pengakuan UMKM
Dalam beberapa laporan, di beberapa daerah memang ada pelaku UMKM yang mengaku usahanya terbantu dengan adanya MBG.
Misalnya, dalam laporan terbaru Antara, Rabu (1/10/2025) menyebutkan salah satu pengusaha UMKM di Tangerang Selatan (Tangsel) menyebut usahanya berkembang berkat MBG.
Pemilik UMKN itu Iftan Bintan, usahanya dipercaya menjadi pemasok ikan segar untuk MBG di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Khusus Tangsel.
“Karyawan saya tambah banyak. Mitra kami juga bertambah. Dengan adanya MBG, saya banyak membantu ibu-ibu di sekitar rumah untuk ikut bekerja memotong, mencabut duri, lalu memfilet,” katanya di Jakarta, dikutip dari Antara Rabu (1/10).
Selain Ifta, ada juga beberapa pengusaha UMK di beberapa daerah lain yang merasa manfaat serupa. Namun, hal ini tentu perlu ditelisik lebih jauh terkait usahanya maupun pendirinya.
Perlu Pengawasan dan Transparansi
Oleh sebab itu, perlu ada sistem transparansi yang bisa dipantau oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tetapi, di dalamnya harus menjelaskan secara rinci dan detail sehingga lebih terpercaya.
Selain itu, dalam mencegah potensi monopoli MBG, pemerintah melalui BGN perlu menegakkan regulasi ketat.
Seperti melakukan verifikasi independen terhadap yayasan maupun badan usaha mitra, agar tidak ada afiliasi politik yang memengaruhi distribusi anggaran.
Kemudian, seperti disebutkan, harus ada transparansi rantai paso. Mulai dari siapa petani atau UMKM yang menjadi pemasok hingga ke mana distribusi makanan bergizi itu diarahkan.
Selanjutnya agar tidak terjadi monopoli MBG, pengawasan berbasis data yang tidak hanya reaktif, tapi juga mencegah praktik penyalahgunaan wewenang sejak dini.
Tanpa langkah konkret itu, Rp335 triliun yang dialokasikan bisa menjadi “panci emas” yang diperebutkan kelompok tertentu.
Program MBG akhirnya berisiko melenceng dari tujuan awalnya untuk memperbaiki gizi anak bangsa dan menggerakkan ekonomi rakyat kecil.
MBG adalah program yang digadang-gadang menjadi tonggak Indonesia Emas 2045. Tetapi, sebagaimana pepatah, “di mana ada gula, di situ ada semut”.
Besarnya anggaran bisa saja membuat program ini tidak lagi menjadi arena perang melawan stunting, melainkan arena perebutan kepentingan ekonomi dan politik.
Jika monopoli dibiarkan tumbuh, MBG justru bisa menjadi “program makan gratis” yang bergizi bagi segelintir elit, tapi hambar manfaatnya bagi rakyat kecil.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.
