SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Para Pencebok Penguasa – (Sepotong Cerpen Fiksi)

  • Jurnalistika

    25 Agt 2025 | 19:15 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi cerpen Para Pencebok Penguasa.

jurnalistika.id – Langit senja di atas ibukota Negeri Jitika menggantung muram, seakan ikut menahan bau busuk yang lahir bukan dari got atau bangkai, melainkan dari layar-layar gawai dan siaran televisi yang menyiarkan puja-puji kepada kuasa. Berita meluncur deras, notifikasi berdenting tanpa henti, tetapi di balik riuh itu, kebenaran terkubur dalam-dalam.

Pena yang dulu menjadi pedang rakyat kini menjelma alat pembersih. Pena yang dulu oleh pendahulu Negeri Jitika digunakan menuliskan jerit jalanan, kini menjadi alat serupa kain pel kotoran istana.

Wartawan yang dulu gagah menyebut dirinya suara publik, kini hanyalah tukang cuci yang sibuk mengilapkan citra penguasa.

“Tak usah banyak tanya,” kata seorang redaktur media tersohor bernama Solpaso kepada wartawannya, di sebuah ruang redaksi berpendingin udara.

“Tulis saja sesuai rilis. Tak perlu memelototi kebijakan, toh kita semua hidup dari hibah.” tegasnya.

Media berita yang dulu dikenal sangat akrab dengan rakyat itu menghias layar komputer dengan judul-judul palsu.

Rakyat Jitika Mendukung Kenaikan Pajak Demi Pembangunan

Demo Rusuh, Pedagang Kecil Dirugikan

Tunjangan Pejabat Naik Demi Efisiensi Negara.”

Wartawan muda itu hanya mengangguk, meski hatinya menolak. Ia tahu betul, yang terjadi di jalan bukanlah “kerusuhan” melainkan teriakan lapar.

Baca juga: Geng Slow vs Geng Bewok – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Tak berbeda dengan media arus utama lainnya, baik impor maupun yang dibangun para jurnalis Negeri Jitika, semuanya tampak serempak menjadi “pencebok penguasa”.

Namun, sehebat apapun polesan para pencebok penguasa lewat saluran medianya, kenyataan tetaplah kenyataan. Bahwa rakyat masih banyak yang jauh dari kata sejahtera, meski puluhan tahun mereka menunggu janji itu teruwjud.

Tak ayal, di luar gedung redaksi, rakyat bergerak. Jalanan sesak oleh spanduk dan toa, wajah-wajah keras ditempa kemarahan.

Seorang pedagang sayur berteriak, “Kami diperas pajak, tapi pejabat makan tunjangan!” Seorang mahasiswa menimpali, “Media menutup mata, mereka lebih sibuk mengelap sepatu presiden!”

Sudut Warung Kopi

Malam itu, di sebuah warung kopi yang remang, beberapa penggerak rakyat berkumpul. Kopi hitam mengepul, asap rokok melayang, dan obrolan meletup bagai api kecil yang siap membesar.

“Mereka bukan lagi pers. Mereka pencebok,” kata Arkan, mahasiswa yang sudah berbulan-bulan turun ke jalan.

“Pencebok siapa?” tanya seorang buruh yang duduk di sebelahnya.

“Pencebok penguasa. Setiap kali penguasa buang kotoran, merekalah yang mengangkat, membersihkan, lalu menaburkan parfum kata-kata.”

Tawa getir terdengar. Seorang jurnalis muda yang membelot dari media arus utama menunduk.

“Benar. Di redaksi tempatku dulu, tak ada lagi kebebasan. Berita harus sejalan dengan istana. Kalau rakyat demo, angle-nya harus kerusuhan. Kalau pejabat naik gaji, narasinya demi efisiensi. Aku keluar, karena tak tahan jadi tukang cebok.”

Hening sejenak. Lalu Arkan menepuk meja.

“Kalau begitu, kita harus punya media kita sendiri. Kita lawan mereka di tempat yang sama. Kalau mereka punya televisi, kita punya gawai. Kalau mereka punya koran, kita punya tulisan yang bisa menyebar lebih cepat di media sosial.”

“Media rakyat?” tanya pedagang sayur itu.

“Ya, media rakyat. Kita balas cebokan mereka dengan kebenaran.”

Media Perlawanan

Hari-hari berikutnya, rakyat membangun jaringannya. Anak-anak muda dengan ponsel murah menyiarkan langsung jalannya demonstrasi.

Para ibu pedagang menulis kisah mereka di grup daring. Buruh-buruh menyalin kabar ke dalam selebaran digital. Kebenaran beredar cepat, menembus tirai propaganda.

Sementara itu, media arus utama semakin gencar membersihkan borok istana.

Mereka menulis: Rakyat Hanya Segelintir Pengacau. Mereka menyiarkan: Pemerintah Tegas Demi Stabilitas.

Namun komentar pembaca kini tak lagi seperti sebelumnya. Baik di situs online maupun media sosial milik para pencebok penguasa itu kini dibanjiri ejekan.

“Dasar media cebok!”

“Kalian sudah tak ada bedanya dengan corong pemerintah!”

Baca juga: Asal Bapak Senang – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Komentar itu muncul lantaran rakyat melihat media perlawanan yang diciptakan rakyat lebih realistis daripada yang dikabarkan media arus utama.

Tak butuh waktu lama media para pencebok penguasa runtuh. Tayangan mereka ditinggalkan, berita mereka dianggap sampah berbayar.

Paling-paling yang masih melihat berita mereka hanya dari kalangan mereke sendiri. Pun ada dari luar, itu hanya bentuk penasaran dengan nasib media itu.

Dipuncak Perlawanan

Sampai pada suatu siang, ribuan rakyat mengepung istana. Polisi dengan tameng, gas air mata, dan pentungan bersiaga. Arkan berdiri di depan barisan, megafon di tangan.

“Kita bukan perusuh! Kita menuntut hak! Jangan percaya media cebok yang menuliskan kita sebagai sampah. Suara kita adalah kebenaran!”

Gas air mata ditembakkan, pentungan menghantam tubuh-tubuh. Namun rakyat tak bubar. Seorang ibu pedagang sayur jatuh, tapi anaknya berdiri menggantikan. Seorang buruh terkapar, namun rekannya mengangkat spanduk lebih tinggi.

Kala kekacauan kian memanas, seorang jurnalis muda turut merekam semuanya. Tangannya bergetar, matanya basah.

Ia tahu, inilah berita sejati. Bukan yang dibayar, bukan yang dipoles, melainkan yang tumbuh dari luka rakyat sendiri. Ia sadar betapa liputannya sudah dibelokan oleh meja redaksi selama ini.

Sementara, rakyat yang melawan menuntut hak tidak mundur sedikit pun. Tidak peduli di depan mereka ada banyak ‘anjing penguasa’ yang memiliki peralatan lengkap, mereka tetap mengencangkan border, antisipasi penyusup melebur.

Perlawanan sudah berlangsung berhari-hari, di beberapa titik juga terjadi. Bahkan demi menjaga semangat perjuangan, rakyat Negeri Jitika tidak pulang ke rumah, mereka tidur di depan istana berhari-hari, sayanya presiden tak kunjung menemui.

Mengalah untuk Menang

Minggu-minggu berlalu. Rakyat telah melakukan perlawanan sehebat-hebatnya, namun betapapun ingin terus melawan, rakyat tetaplah manusia yang punya tenaga.

Tak ada kabar baik dari penguasa, hanya suara mereka yang terdengar sampai istana. Sayangnya, suara yang indah tidak akan pernah sampai ke hati yang berdinding kebusukan.

Semakin lama perlawanan, semakin banyak yang datang. Tetapi di balik itu, semakin banyak pula yang tumbang. Para penggerak pun memilih untuk mundur sementara, guna menyusun strategi dan mengumpulkan kekuatan selanjutnya.

Istana Negeri Jitika masih berdiri, pejabat masih berfoya. Hanya saja, satu hal sudah berubah, rakyat tak lagi mempercayai media arus utama.

Para pencebok penguasa kehilangan audiens. Mereka menulis, mereka menyiarkan, tapi suaranya hilang ditelan sunyi.

Di dunia maya, media rakyat berkembang. Suara-suara kecil menjelma orkestra kebenaran. Pena kembali ke tangan yang tepat.

Dan bagi rakyat Jitika, itu sudah cukup untuk sebagai kemenangan awal sebelum kemenangan besar.

Kini, setiap kali nama media besar disebut, orang-orang tertawa getir.

“Ah, itu? Media cebok. Tak lebih dari pembersih istana.”

Kalimat itu beredar luas, jadi semacam ejekan yang abadi. Dan sejarah pun mencatat, para pencebok penguasa pernah berjaya, tapi akhirnya binasa. Bukan karena dibungkam rakyat, melainkan karena dilupakan.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

Disclaimer:
Cerita ini adalah karya fiksi. Semua nama tokoh, tempat, peristiwa, dan kebijakan yang digambarkan hanyalah hasil imajinasi penulis. Jika ada kesamaan dengan kejadian, nama, atau situasi di dunia nyata, hal tersebut semata-mata kebetulan dan tidak disengaja.

cerpen

para pencebok penguasa



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.