SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Naiknya Gaji DPR Bisa Bikin Kantong Negara Makin Kering

  • Jurnalistika

    20 Agt 2025 | 18:15 WIB

    Bagikan:

image

Gedung DPR/MPR Indonesia di Jakarta. (Dok. mpr.go.id)

jurnalistika.id – Kabar mengenai gaji anggota DPR yang tembus Rp100 juta per bulan kembali menggelinding di ruang publik. Sekilas, angka ini memang mencengangkan.

Jika dihitung, jumlah tersebut setara dengan Rp3 juta per hari. Angka yang lebih tinggi daripada gaji bulanan sebagian besar guru honorer di negeri ini.

Polemik makin ramai ketika publik mendengar penjelasan resmi. Bukan gaji pokok yang naik, melainkan tunjangan, terutama tunjangan rumah yang nilainya mencapai lima puluh juta rupiah per bulan.

Apa pun istilahnya, gaji pokok atau tunjangan, ujungnya tetap sama. Pengeluaran negara untuk para wakil rakyat kian membengkak.

Pada sisi inilah letak masalah yang sesungguhnya. Pemerintah kerap menekankan pentingnya efisiensi. Bahkan tak segan memangkas subsidi rakyat dengan dalih beban fiskal.

Baca juga: Asal Bapak Senang – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Namun di sisi lain, para legislator justru mendapat fasilitas yang membuat take home pay mereka melambung mendekati seratus juta rupiah.

Jika logika penghematan benar-benar konsisten, seharusnya DPR pun masuk hitungan sebagai beban negara yang perlu ditinjau ulang.

Bagaimana mungkin negara sibuk menyisir subsidi atau menahan gaji guru honorer, sementara tunjangan anggota dewan justru dibiarkan meroket tanpa kritik serius dari dalam institusi itu sendiri.

Para pembela kebijakan ini menyodorkan alasan klasik. Tunjangan rumah dianggap sebagai kompensasi karena fasilitas rumah dinas dihapuskan.

Pertanyaannya, apakah kompensasi sebesar itu rasional? Mari kita bandingkan.

Seorang guru PNS dengan masa kerja puluhan tahun hanya menerima sekitar enam hingga tujuh juta rupiah per bulan, lengkap dengan tunjangan. Di banyak daerah, guru honorer bahkan hanya digaji setara upah minimum, atau lebih rendah.

Ironisnya, gaji sebulan seorang guru bisa habis untuk membayar sewa apartemen sederhana di Jakarta. Sedangkan anggota DPR diberi dana setara cicilan rumah mewah di kawasan elit.

Permainan Kata Pejabat Bertahta

Dalam kacamata publik, perdebatan soal naik gaji atau naik tunjangan hanyalah permainan kata yang menyesatkan. Apa yang diterima anggota DPR tetap berasal dari uang rakyat.

Dan ketika angka itu menembus seratus juta rupiah per bulan, sulit menepis kesan bahwa DPR hidup dalam ruang privilese yang jauh dari realitas rakyat yang mereka wakili.

Bukankah fungsi utama wakil rakyat adalah memperjuangkan kepentingan publik, bukan memperlebar kantong pribadi dengan alasan fasilitas.

Jika negara benar-benar ingin menjaga kantong fiskal agar tidak makin kering, DPR seharusnya memberi teladan. Alih-alih menambah tunjangan, mereka mestinya menunjukkan sikap solidaritas dengan memangkas fasilitas.

Baca juga: Semua Aku Dipajaki – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Anggaran itu kemudian dialihkan untuk memperbaiki kualitas layanan publik. Pendidikan, kesehatan, hingga jaring pengaman sosial akan jauh lebih bermanfaat ketimbang tambahan tunjangan rumah para wakil rakyat.

Dengan begitu, rakyat bisa melihat wakilnya memahami arti kata wakil. Yakni mendahulukan kepentingan umum di atas kenyamanan pribadi.

Pada akhirnya, legitimasi DPR tidak ditentukan oleh jumlah kursi atau besarnya tunjangan. Legitimasi lahir dari sejauh mana mereka mampu memperjuangkan rakyat.

Jika yang tampak justru sebaliknya, gaji dan tunjangan yang terus membengkak di tengah ketimpangan sosial yang nyata, maka publik berhak bertanya. Siapa sesungguhnya yang mereka wakili?

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

Dpr

gaji dpr

Opini



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.