jurnalistika.id – Kepemimpinan besar tidak selalu lahir dari ruang publik yang terang-benderang. Dalam film The Godfather (1972), Francis Ford Coppola justru menampilkan seorang pemimpin yang bekerja di wilayah gelap, tetapi dengan etika yang nyaris klasik, Don Vito Corleone.
Sosok ini bukan hanya kepala keluarga mafia, melainkan figur simbolik yang memahami hakikat kekuasaan sebagai seni merawat manusia. Ia membangun loyalitas bukan lewat ketakutan, melainkan melalui penghormatan yang tumbuh dari rasa aman dan kebersamaan.
Vito Corleone adalah paradoks kepemimpinan modern, kejam tetapi lembut, dingin namun penuh kasih. Ia sadar betul bahwa kekuasaan yang bertahan lama tidak bisa ditopang oleh kekerasan semata.
Baca juga: Membayangkan Indonesia Darurat Militer
Dalam perspektif politik, ia mengamalkan adagium Machiavelli dengan cara yang jauh lebih beradab, bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus ditakuti atau dicintai, tetapi mesti menemukan keseimbangan antara keduanya.
Don Corleone menaklukkan hati sebelum menaklukkan tindakan. Ia memahami bahwa kesetiaan yang tumbuh dari cinta lebih tahan lama dibanding kepatuhan yang dibangun dari rasa takut.
Relasi Timbal Balik Kunci Kepemimpinan Don Corleone
Kunci dari gaya kepemimpinannya terletak pada relasi timbal balik yang penuh kalkulasi emosional. Kalimat legendarisnya, “I’ll make him an offer he can’t refuse (Aku akan memberinya tawaran yang tidak bisa dia tolak),” sering disalahartikan sebagai ancaman.
Namun dalam konteks kepemimpinannya, ungkapan itu mencerminkan sistem patronase yang dirawat melalui prinsip resiprositas.
Don Corleone memberikan sesuatu bukan semata demi keuntungan pribadi, melainkan sebagai investasi moral. Ia menanam utang budi yang kelak berbuah loyalitas.
Dalam kerangka teori Marcel Mauss tentang “The Gift,” pemberian seperti ini tidak pernah netral, selalu ada kewajiban untuk membalas. Don Vito memahami hukum sosial itu dengan sempurna.
Baca juga: Para Pencebok Penguasa – (Sepotong Cerpen Fiksi)
Kepemimpinan yang ia bangun berakar pada kedekatan personal. Para pengikutnya tidak memandangnya sebagai bos, melainkan sebagai Don, gelar yang sarat penghormatan dan kasih.
Ia mendengarkan dengan sabar, memberi waktu kepada setiap orang untuk merasa berarti, dan menempatkan kehormatan individu sebagai nilai tertinggi.
Pendekatan ini mengingatkan pada konsep servant leadership yang dikemukakan Robert K. Greenleaf, pemimpin sejati adalah pelayan terlebih dahulu. Don Vito melayani agar kekuasaannya berakar kuat dalam kesadaran kolektif orang-orang di sekitarnya.
Relasinya dengan anak-anaknya memperlihatkan dimensi lain dari loyalitas yang ia rawat. Sonny, Fredo, dan Michael tidak sekadar anak biologis, tetapi penerus sistem nilai yang telah ia bangun.
Don Vito menanamkan gagasan bahwa keluarga adalah pusat semesta moral. Prinsip ini jangan dilihat hanya sebatas romantisme darah, ada mekanisme ideologis untuk memastikan kesinambungan loyalitas tersirat.
Dalam kerangka organisasi modern, nilai tersebut setara dengan upaya membangun corporate culture, satu sistem kepercayaan bersama yang lebih kuat dari sekadar kontrak formal.
Don Vito Corleone Menjadi rumah Bagi Orang-Orang Tersingkirkan
Film The Godfather juga memperlihatkan bagaimana Vito Corleone memelihara rasa aman psikologis di tengah dunia yang brutal. Ia menjadi “rumah” bagi banyak orang yang tersingkir, menyediakan perlindungan di luar jangkauan hukum negara.
Dari sinilah tumbuh rasa keterikatan yang dalam. Loyalitas mereka bukan hasil doktrin atau ancaman, melainkan kesadaran bahwa Don Vito telah memberi makna dan identitas bagi hidup mereka.
Dalam kacamata sosiologi Weberian, ia mewujudkan bentuk charismatic authority, otoritas yang lahir bukan dari hukum atau tradisi, melainkan dari daya magis kepribadian yang memikat dan menggerakkan.
Baca juga: Asal Bapak Senang – (Sepotong Cerpen Fiksi)
Setiap tindakan Don Vito selalu memiliki dimensi moral, betapapun gelap konsekuensinya. Ia menghukum pengkhianatan bukan karena haus darah, namun demi menjaga integritas sistem nilai yang ia bangun.
Kekerasan dalam dunia Corleone bukan kekejaman, hanya bentuk disiplin etis yang menjaga keteraturan sosial. Perspektif ini menunjukkan bahwa bagi Don Vito, kepemimpinan adalah seni mengelola kepercayaan. Sebuah keseimbangan antara kasih dan ketegasan, antara perlindungan dan pembalasan.
Kepimpinan Anomalis di Era Sekarang
Dalam dunia yang semakin rasional dan transaksional, gaya kepemimpinan semacam itu terasa anomalis. Banyak pemimpin masa kini sibuk membangun wibawa melalui citra, bukan melalui tindakan yang menumbuhkan kepercayaan.
Mereka ingin dihormati tanpa mau mendengarkan, ingin diikuti tanpa mau melayani. Don Vito Corleone, dengan seluruh kompleksitasnya, mengajarkan bahwa loyalitas tidak dapat dibeli, hanya dapat dirawat.
Ia menanamkan nilai bahwa kekuasaan sejati bersumber dari kemampuan membuat orang merasa aman di bawah naungannya.
Ketika masa tuanya tiba dan ia bermain dengan cucunya di kebun, The Godfather memperlihatkan paradoks terakhir dari kepemimpinan Vito Corleone. Ia merupakan seorang penguasa yang akhirnya hanya ingin menjadi ayah.
Dalam adegan itu, Coppola menutup siklus kepemimpinan dengan simbol yang kuat, kekuasaan yang tidak lagi diukur dari seberapa banyak orang tunduk, melainkan dari seberapa dalam warisan kepercayaan yang ia tinggalkan.
Don Vito Corleone keliru bila dianggap sebatas Godfather dalam pengertian gelap dunia mafia. ia juga metafora bagi pemimpin sejati yang merawat kadernya dengan hati seorang ayah dan kebijaksanaan seorang filsuf.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.
