SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Membayangkan Indonesia Darurat Militer

  • Jurnalistika

    01 Sep 2025 | 16:45 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi Indonesia darurat militer.

jurnalistika.id – Sejarah selalu memberi generasi sekarang peringatan, bahwa ketika negara mengerahkan kekuatan militernya ke ruang sipil, konsekuensi yang lahir jarang bersifat sementara.

Gelombang demonstrasi yang meluas sejak 25 Agustus 2025, yang kini berubah menjadi turbulensi sosial dengan pembakaran gedung-gedung DPRD di berbagai daerah, menjadi alasan yang tampak logis bagi negara untuk mengedepankan narasi stabilitas.

Namun, dalam sejarah republik ini maupun pengalaman negara lain, darurat militer kerap menjadi titik belok dari demokrasi menuju rezim yang semakin otoritarian.

Mendefinisikan Darurat Militer

Sebelum jauh, mari menilik sedikit pengertian soal darurat militer. Berlandaskan definisi normatif, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikulasikan darurat militer sebagai suatu keadaan luar biasa di mana suatu wilayah berada sepenuhnya di bawah kendali militer.

Dalam kerangka ini, militer bukan hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga memperoleh legitimasi sebagai otoritas tertinggi yang mengambil alih tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan sementara.

Sejalan dengan itu, Antara menjelaskan bahwa darurat militer, atau dalam terminologi global dikenal sebagai martial law, merupakan seperangkat rezim peraturan yang diberlakukan secara efektif setelah adanya deklarasi resmi dari negara.

Baca juga: Para Pencebok Penguasa – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Implementasi kebijakan ini ditandai dengan pengalihan kewenangan pemerintah sipil kepada struktur komando militer, yang dipandang lebih mampu mengendalikan eskalasi ancaman.

Biasanya, mekanisme ini ditempuh dalam situasi ekstrem, seperti pecahnya perang, kudeta militer, pemberontakan bersenjata, bencana alam berskala besar, atau kondisi lain yang menyebabkan disfungsi sistem pemerintahan konvensional.

Dalam tahap tersebut, komandan militer diberikan otoritas luas untuk merumuskan kebijakan, menegakkan ketertiban, serta mengambil langkah-langkah strategis yang, dalam keadaan normal, akan melampaui batas konstitusional kekuasaan sipil.

Darurat militer di Indonesia bukanlah wacana yang asing di telinga. Saat BJ Habibie memimpin Indonesia, ia pernah menerapkan darurat militer di Timor Timur (1999) yang berlangsung singkat.

Adapun legalitas penerapan darurat militer era tersebut ditandai dengan Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 199 yang berlaku 7 September 199. Lalu pencabutannya melalui Kepres 112 Tahun 1999 pada 23 September.

Hal serupa juga pernah diambil oleh Presiden kelima Megawati Soekarnoputri untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kala itu, kebijakan diambil guna menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menuntuk pendirian negara sendiri.

Penerapan Peran Militer di Sipil

Tak hanya itu, secara penerapan otoritas militer juga pernah terjadi di Indonesia. Misalnya pada masa Orde Lama, Soekarno menggunakannya sebagai alat konsolidasi kekuasaan dalam konsep demokrasi terpimpin.

Kemudian, di era Orde Baru, Soeharto menormalisasi peran militer dalam kehidupan sipil.

Pengalaman ini tentu meninggalkan trauma kolektif bagi masyarakat. Operasi militer yang menelan korban sipil, represi kebebasan pers, hingga penghilangan paksa aktivis.

Bukankah sampai hari ini, luka para orang tua yang kehilangan anaknya di era tersebut masih belum sembuh? Orang-orang yang dihilangkan karena memiliki pemikiran di luar kemauan penguasa bahkan masih belum jelas kabarnya.

Sebut saja Wiji Thukul, seorang penyair dengan kata-kata setajam bilah pedang, menciptakan syair-syair yang mengusik telinga penguasa pada saat itu. Namun, akhirnya dia dihilangkan tanpa kabar sampai hari ini.

Maka, ketika wacana serupa mengemuka di tengah krisis ere reformasi ini, publik berhak khawatir bahwa demokrasi yang dibangun dengan susah payah pascareformasi kembali berada di tepi jurang.

Baca juga: Geng Slow vs Geng Bewok – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Secara teoritik, darurat militer adalah mekanisme konstitusional. Pasal 12 UUD 1945 membuka ruang bagi Presiden untuk menetapkannya ketika keamanan nasional terancam.

Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah siapa yang mendefinisikan ancaman itu, dan sejauh mana legitimasi klaim tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara publik?

Sejarah dunia menunjukkan betapa tipisnya garis antara “pengamanan negara” dan “pengendalian rakyat.”

Contoh paling gamblang adalah Amerika Serikat pasca-9/11, ketika Patriot Act melanggengkan pengawasan massal dan penahanan tanpa proses pengadilan, atau Thailand, yang berkali-kali menggunakan darurat militer sebagai pintu masuk kudeta.

Celah Penerapan Darurat Militer

Dari kacamata akademik, Francis Fukuyama pernah menyinggung bahwa ketahanan demokrasi bergantung pada kapasitas institusi untuk merespons krisis tanpa meruntuhkan prinsip-prinsip kebebasan.

Dalam konteks Indonesia, institusi sipil kerap lemah menghadapi tekanan ketidakstabilan. Hal itu lantas membuka celah bagi narasi “penyelamatan bangsa” yang dijadikan legitimasi penggunaan kekuatan bersenjata.

Celah ini semakin berbahaya ketika eskalasi protes dipolitisasi, bukan semata dilihat sebagai ekspresi kegelisahan rakyat terhadap kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan korupsi struktural.

Impilikasi Darurat Militer Tak Sebatas Pembatasan Jam Malam

Implikasi darurat militer jauh melampaui pembatasan jam malam atau patroli bersenjata di jalan-jalan kota. Kebijakan ini berpotensi mereduksi ruang publik, membungkam kritik, dan mengubah lanskap demokrasi menjadi arena ketakutan.

Penelitian O’Donnell dan Schmitter (1986) tentang “authoritarian breakdown” menggarisbawahi bahwa rezim otoriter kerap mengklaim status quo sebagai upaya “pemulihan ketertiban,” tetapi justru memperpanjang siklus represi dan konflik.

Membayangkan Indonesia dalam bayang-bayang darurat militer adalah membayangkan sebuah kemunduran politik.

Demokrasi yang telah dibangun selama dua dekade lebih dengan segala ketidaksempurnaannya bukanlah hadiah yang boleh dikorbankan atas nama stabilitas instan.

Baca juga: Semua Aku Dipajaki – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Jalan keluar dari kekacauan hari ini seharusnya bukanlah senjata, melainkan pemulihan kepercayaan publik. Pemerintah dapat mengadopsi pendekatan dialogis, mengundang elemen masyarakat sipil, akademisi, dan pemimpin komunitas untuk duduk bersama membicarakan akar krisis ini.

Sejarah menunjukkan bahwa stabilitas sejati lahir bukan dari laras senapan, tetapi dari legitimasi yang diperoleh melalui keadilan sosial, transparansi, dan penghormatan pada kebebasan sipil.

Menghadirkan militer ke ruang sipil hanya akan menabur benih ketakutan yang kelak menjadi api baru, membakar fondasi demokrasi yang telah rapuh.

Jika hari ini masyarakat abai pada pelajaran sejarah, mungkin esok kita hanya bisa mengenang demokrasi sebagai eksperimen singkat yang gagal bertahan menghadapi ujian pertama keseriusan.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

darurat militer

Indonesia Darurat Militer

membayangkan indonesia darurat militer



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.