jurnalistika.id – Menjadi guru di negeri yang konon memiliki perangkat hukum paling lengkap sering kali justru terasa sebagai nasib yang malang.
Ironi ini hidup di ruang-ruang kelas, di antara papan tulis dan barisan meja murid. Ketika profesi yang sejatinya mulia itu justru dikepung oleh hukum yang seharusnya melindungi, tetapi kadang membelenggu.
Negeri ini memiliki Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Perlindungan Anak, bahkan peraturan khusus mengenai perlindungan profesi guru. Namun di lapangan, guru justru berjalan di atas garis tipis antara mendidik dan dianggap melanggar hukum.
Baca juga: Kita Ini Insan, Bukan Seekor Sapi
Setiap guru tahu bahwa pendidikan bukan semata soal transfer ilmu, melainkan pembentukan karakter. Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Brasil, menyebut pendidikan sebagai tindakan pembebasan, sebuah proses membangun kesadaran kritis agar manusia mampu memahami realitas dan bertanggung jawab atas pilihannya.
Dalam konteks itu, teguran, kedisiplinan, bahkan ketegasan adalah bagian dari proses pembentukan karakter. Pendidikan yang mendewasakan selalu disertai dengan disiplin yang mengakar pada cinta dan tanggung jawab.
Namun, di negeri berhukum lengkap ini, cinta yang tegas sering kali diterjemahkan sebagai kekerasan. Satu sentuhan keras di bahu murid bisa dianggap pelanggaran. Satu teguran dengan nada tinggi bisa dilaporkan ke pihak berwenang.
Hukum yang seharusnya melindungi anak dari kekerasan, diinterpretasikan secara kaku hingga melumpuhkan peran pendidik dalam menanamkan nilai-nilai karakter. Padahal, tanpa ketegasan, pendidikan kehilangan arah moralnya.
Antara Teks Hukum dan Realistas Sosial
Paradoks ini mengungkap kesenjangan antara teks hukum dan realitas sosial. Di atas kertas, hukum menjamin perlindungan terhadap guru dan peserta didik secara seimbang. Tetapi dalam praktiknya, perlindungan itu sering kali timpang.
Guru menjadi pihak yang paling rentan karena posisinya berada di garis depan, berhadapan langsung dengan murid, dengan segala kompleksitas emosional dan sosialnya. Sekali kesalahan tafsir terjadi, guru bisa kehilangan profesi, reputasi, bahkan harga diri.
Guru sekarang hidup di masa ketika wibawanya tergerus oleh persepsi yang keliru tentang kebebasan anak. Banyak orang tua melihat sekolah semata sebagai penyedia layanan, bukan lembaga pembentukan watak.
Baca juga: Bukan Salah Monyet Mengusik Manusia
Mereka lupa bahwa pendidikan bukan jasa konsumen, melainkan proses kolektif yang menuntut kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Ketika anak ditegur, sebagian orang tua merasa anaknya “disakiti.” Seringnya, dengan berasa jagoan meraka pun datang ke sekolah, syukur-syulur membuka dialog, justru langsung menggugat.
Guru pun akhirnya belajar untuk berhati-hati, bukan demi kebaikan murid, tetapi demi keselamatan diri.
Dalam teori pendidikan moral Lawrence Kohlberg, pembentukan karakter berjalan melalui tahapan perkembangan moral yang menuntut adanya konsekuensi.
Anak tidak bisa belajar tentang tanggung jawab hanya lewat nasihat; mereka belajar melalui batas dan aturan. Bila setiap bentuk teguran dianggap pelanggaran, anak kehilangan pengalaman moral yang fundamental, kemampuan untuk memahami sebab akibat dari tindakannya. Tanpa itu, pendidikan berhenti di ranah kognitif, tanpa menyentuh dimensi etik dan afektif.
Minim Literasi Hukum Memperarah Keadaan
Masalah ini diperparah oleh lemahnya literasi hukum di kalangan masyarakat. Banyak pihak memahami hukum sebatas teks, bukan konteks.
Padahal, hukum pendidikan haruslah bersifat mendidik, bukan menakuti. Hukum harus memberi ruang bagi guru untuk menanamkan disiplin dengan cara yang proporsional.
Guru yang memberi teguran keras tidak selalu sedang menghukum; kadang ia sedang berusaha menyelamatkan.
Namun situasi hari ini membuat banyak guru kehilangan keberanian moralnya. Mereka memilih diam ketika melihat perilaku murid yang melampaui batas.
Baca juga: Merawat Kader Ala Don Vito Corleone
Mereka menutup mata demi menghindari masalah hukum yang mungkin datang. Akibatnya, ruang kelas berubah menjadi arena kompromi moral. Murid merasa bebas tanpa batas, guru terpaksa tunduk dalam diam, dan pendidikan kehilangan ruhnya.
John Dewey, filsuf pendidikan Amerika, pernah menulis bahwa sekolah adalah miniatur masyarakat. Jika di ruang kecil bernama kelas itu nilai-nilai disiplin dan tanggung jawab tak lagi ditegakkan, maka di ruang besar bernama negara pun nilai-nilai itu akan rapuh.
Guru bukan hanya pengajar, melainkan penjaga peradaban. Ketika penjaga itu dibungkam oleh ketakutan hukum, maka sesungguhnya yang terancam meluas dari sekedar profesinya, ada juga masa depan bangsa.
Hukum Semestinya
Ironinya, hukum yang lengkap tidak selalu berarti adil. Lengkap di atas kertas, belum tentu berpihak di lapangan. Hukum yang baik mestinya mampu menimbang konteks kemanusiaan, membedakan antara kekerasan yang merusak dan ketegasan yang mendidik.
Di titik ini, negara seharusnya hadir lebih adil. Tidak membuat celah ancaman pidana terhadap guru yang benar-benar mendidik, kebijakan harus melindungi guru sebagai pendidik dan manusia.
Menjadi guru di negeri berhukum lengkap seharusnya menjadi profesi yang terlindungi. Namun kenyataannya, mereka justru berada di posisi paling rawan, terjepit antara idealisme pendidikan dan risiko hukum yang menanti.
Baca juga: Iwan Fals: Musisi Pembangkit Idealisme Anak Muda
Mereka ingin mendidik dengan hati, tetapi selalu dibayangi pasal. Mereka ingin menegakkan disiplin, tetapi takut disalahartikan.
Dan di sinilah letak ironi terbesar dari negeri berhukum lengkap, hukum yang dibuat untuk menjamin kemanusiaan justru membuat manusia kehilangan nuraninya dalam mendidik.
Maka benar adanya, malang betul jadi guru di negeri seperti ini, negeri yang pandai menulis hukum, namun abai pada keadilan di ruang kelas.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.
