SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Hindari Greenflation, Batu Bara Tetap Dipoles

  • Jurnalistika

    12 Sep 2025 | 15:15 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi Greenflation.

jurnalistika.id – Gelombang narasi bahwa “memoles” batu bara dengan teknologi bersih adalah jalan tengah yang realistis untuk mencegah greenflation, inflasi yang dipicu oleh transisi energi, mengandung pesona politis yang sulit ditolak.

Namun pesona itu tidak sama dengan ketepatan kebijakan. Argumen pragmatis yang dikemukakan oleh sebagian kalangan politik dan industri, bahwa transisi harus lambat, bahwa ultra-supercritical, co-firing, dan CCS (carbon capture and storage) dapat menengahi konflik antara dekarbonisasi dan stabilitas harga, mengaburkan dua hal fundamental.

Pertama, biaya ekonomi-politik jangka menengah dan jangka panjang dari mempertahankan dominasi batu bara. Kedua eksternalitas ekologis dan kesehatan yang tak terhitung dalam harga listrik yang tampak “stabil”.

Konsep greenflation itu nyata dan perlu direspon secara kebijakan, tetapi bukan dengan kembali menguatkan industri bahan bakar fosil. Literatur ekonomi makro yang mengkaji hubungan antara kebijakan energi, pajak bahan bakar, dan tekanan inflasi menegaskan bahwa tekanan harga yang muncul selama transisi dapat diredam melalui instrumen fiskal yang tepat dan desain kebijakan pasar energi, bukan dengan menunda transisi untuk mengamankan aset fosil.

Baca juga: Para Pencebok Penguasa – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Studi-studi sistematis menyarankan bahwa mekanisme yang menyerap guncangan harga (misalnya struktur pajak yang tepat, bantuan bersyarat untuk rumah tangga rentan) lebih efektif menstabilkan inflasi daripada mengorbankan tujuan iklim demi stabilitas jangka pendek.

Namun mengusung narasi “teknologi bersih untuk batu bara” sebagai solusi praktis menuntut pemeriksaan teknis dan politik yang jujur. Secara teknis, pembangkit ultra-supercritical memang meningkatkan efisiensi termal sehingga menurunkan emisi CO₂ relatif terhadap teknologi sub-kritis, estimasi pengurangan berkisar pada orde puluhan persen, bukan nol emisi, sehingga tetap meninggalkan jejak karbon signifikan jika digunakan sebagai pengganti langsung kapasitas terbarukan.

CCS dan CCUS (carbon capture, utilisation and storage) menunjukkan kemajuan, jumlah proyek berkembang, tetapi implementasi komersial dan skala nasionalkomprehensif masih menghadapi hambatan biaya, energy penalty, kebutuhan infrastruktur penyimpanan geologis, serta risiko penguncian investasi pada teknologi yang mahal dan lambat terdistribusi.

Dengan kata lain, CCS bukanlah tongkat sihir yang memungkinkan “kelanjutan” batu bara tanpa konsekuensi biaya dan risiko teknis-finansial.

Skenario co-firing biomassa, mencampurkan biomassa pada boiler batu bara, juga bukan jawaban bebas problem. Potensi penyediaan biomassa yang berkelanjutan dalam skala yang diperlukan untuk mendekomisionalkan emisi batubara bertemu keterbatasan suplai, persoalan logistik, dan risiko kompetisi lahan yang berimplikasi pada ketahanan pangan dan kehilangan karbon hutan.

Tanpa jaminan bahwa biomassa berasal dari residu dan limbah, co-firing berisiko mendorong alih guna lahan dan emisi tidak langsung yang membatalkan klaim “net-zero” bagi pembangkit batu bara yang dimodifikasi. (Kajian bioenergi menegaskan bahwa porsi pasokan biomassa yang dapat diandalkan dari residu jauh lebih terbatas daripada yang diprediksi oleh optimisme politis.)

Lebih jauh, argumen yang mengabaikan biaya eksternal sangat berbahaya secara normatif dan praktis. Produksi dan pembakaran batu bara meninggalkan jejak kesehatan masyarakat dan ekologis yang besar.

Polusi udara dari pembangkit dan tambang meningkatkan beban penyakit kardiovaskular dan respiratori, menurunkan produktivitas, dan memperbesar beban fiskal kesehatan, biaya yang jarang tercermin dalam harga listrik atau angka pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Di Indonesia, kajian independen telah mendokumentasikan biaya kesehatan dan sosial yang signifikan akibat siklus produksi-konsumsi batu bara; mengandalkan “polesan teknologi” untuk menutup biaya ini adalah bentuk accounting yang selektif dan menyesatkan.

Dari perspektif ekonomi politik, mempertahankan atau menghidupkan kembali lisensi sosial dan fiskal bagi batu bara juga menghadirkan risiko stranded assets, aset berwujud dan tak berwujud yang kehilangan nilai seiring pergeseran kebijakan, pasar karbon, dan inovasi teknologi.

Penelitian terkini menunjukkan bahwa pembiayaan batu bara semakin terkonsentrasi, dan bahwa pemegang risiko seringkali bukan investor publik luas tetapi bank-bank tertentu dan pilar fiskal negara.

Artinya beban translokasi aset berisiko itu bisa menumpuk pada neraca publik dan masyarakat apabila perencanaan transisi tidak dikelola dengan jelas. Risiko tersebut bukan hanya teoritis: dinamika pasar global, kebijakan proteksi harga domestik, dan insentif fiskal yang timpang sudah terlihat menunda penutupan tambang dan PLTU di berbagai negara.

Mengunci ekonomi pada aset-aset intensif karbon demi menghindari fluktuasi harga hari ini berkemungkinan menciptakan beban finansial yang jauh lebih berat esok hari.

Pengabaian Terhadap Geopolitik dan Pasar

Argumen bahwa “batu bara dipoles” bisa mencegah greenflation mengabaikan pula risiko geopolitik dan pasar, kebijakan perdagangan karbon seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, serta perubahan preferensi pembeli internasional, dapat menimpa daya saing ekspor komoditas dan memaksa neraca perdagangan menanggung dampak harga karbon tersembunyi, sebuah bentuk green penalty yang justru memukul negara yang terlambat menyesuaikan produksi.

Menunda transisi untuk menjaga harga domestik hari ini bisa berujung pada biaya kompetitif dan fiskal yang lebih tajam ke depan.
Reuters

Cara Praktis dan Masuk Akal

Apa yang, secara praktis dan akademis, lebih masuk akal daripada “memoles” batu bara? Pertama, pengakuan bahwa greenflation bukan takdir; ia adalah risiko kebijakan yang bisa dikelola.

Instrumen fiskal yang ditargetkan, subsidi terarah untuk rumah tangga rentan, pengaturan tarif energi yang menginternalisasi eksternalitas secara bertahap, dan mekanisme stabilisasi pasar (mis. strategic reserves, kontrak hedging untuk pembangkit terbarukan, dapat mengurangi dampak transisi pada inflasi tanpa memelihara industri fosil.

Kedua, investasi pro-aktif pada infrastruktur fleksibilitas jaringan (penyimpanan energi, transmisi antarwilayah, manajemen beban) menurunkan volatilitas harga dan meningkatkan kemampuan integrasi terbarukan, sehingga mengikis salah satu dalih utama bagi penundaan transisi.

Baca juga: Membayangkan Indonesia Darurat Militer

Ketiga, rencana transisi tenaga kerja dan komunitas, dana pensiun transisi, program pelatihan ulang, dan kompensasi terstruktur, mengurangi resistansi sosial terhadap penutupan tambang dan PLTU.

Keempat, melakukan perhitungan ekonomi yang benar: internalisasi biaya kesehatan dan lingkungan dalam evaluasi proyek sehingga keputusan investasi mencerminkan totalitas biaya sosial, bukan hanya ongkos produksi.

Teori institusional tentang path dependency dan carbon lock-in mengajarkan satu hal penting, semakin lama negara menunda peralihan, semakin mahal, lebih berisiko, dan lebih traumatis proses transisinya kelak.

Politik yang pragmatis tidak boleh bercampur dengan politik mempertahankan rente; kebijakan yang bertanggung jawab adalah kebijakan yang mengakui trade-off tetapi memilih opsi yang meminimalkan kerugian total jangka panjang, bukan yang sekadar mereduksi fluktuasi harga sesaat sambil menimbun liabilitas besar di belakang layar.

Akhirnya, retorika “hindari greenflation dengan memoles batu bara” harus dibaca sebagai pilihan politik, bukan penutup atas kehati-hatian teknis.

Jika tujuan kebijakan adalah menjaga kesejahteraan warga dan ketahanan jangka panjang negara, maka strategi yang sungguh-sungguh mengatasi risiko inflasi transisi adalah strategi yang mempercepat kapasitas pasokan bersih yang andal, memperbaiki instrumen fiskal dan sosial, serta mengoreksi distorsi pasar yang selama ini merugikan transisi: subsidi batu bara, kontrak take-or-pay yang memerangkap PLN, dan regulasi yang menghambat penetrasi energi terbarukan.

Paling minim, setiap wacana “polish coal” harus disandingkan dengan analisis skenario yang jujur: biaya kesehatan, risiko stranded assets, dampak pada daya saing ekspor, dan kapasitas teknis nyata untuk menerapkan CCS atau co-firing secara berkelanjutan—bukan klaim normatif tanpa dasar empiris.

Menanggulangi greenflation bukan soal mengembalikan batu bara ke pangkuan praktis; ia soal merancang kebijakan yang adil, ilmiah, dan berjangka panjang, kebijakan yang menimbang keseluruhan biaya dan manfaat, bukan sekadar menjaga angka inflasi bulan demi bulan.

Kalau tujuan kita adalah menjaga stabilitas ekonomi sekaligus mewariskan lingkungan dan kesehatan publik yang lebih baik kepada generasi mendatang, maka jalan rasionalnya bukan memoles batu bara, melainkan merapikan kebijakan agar transisi menjadi terencana, inklusif, da paling penting, tak memaksa masyarakat menukar masa depan sehat mereka demi kenyamanan harga hari ini.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

batu bara

Greenflation



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.