SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Geng Slow vs Geng Bewok – (Sepotong Cerpen Fiksi)

  • Jurnalistika

    22 Agt 2025 | 13:15 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi cerpen Geng Slow vs Geng Bewok.

jurnalistika.id – Negeri Jitika tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu kota berkelip sepanjang malam, menyorot jalanan yang dipenuhi baliho wajah-wajah politisi dengan senyum palsu. Di gedung-gedung tinggi, rapat rahasia berlangsung; kopi pahit diseruput, janji-janji dilontarkan, dan nasib rakyat dipertaruhkan.

Namun, di Negeri Jitika politik bukan lagi sekadar urusan kebijakan. Politik adalah arena tarung, meja judi, dan panggung teater, semua bercampur jadi satu. Setiap geng, komunitas, dan kelompok berpengaruh punya kepentingan, dan setiap kepentingan punya harga.

Politik di Negeri Jitika adalah tempat pengkhianatan dibayar dengan jabatan, dan kesetiaan diukur dari berapa banyak darah yang rela ditumpahkan.

Jelas di tengah hiruk-pikuk itu, ada sejumlah kekuatan yang mencoba menggapai puncak kekuasaan. Dan dua kekuatan besar paling mendominasi adalah Geng Slow dan Geng Bewok.

Geng Slow dipimpin oleh Koyoki, lelaki berpenampilan kalem dengan rambut yang selalu tersisir rapi. Wajahnya teduh, berlogat tenang, namun berotak seperti mesin.

Baca juga: Semua Aku Dipajaki – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Ia memang jarang meninggikan suara, tapi satu kata darinya bisa menjatuhkan seorang pejabat ke dasar jurang politik. Baginya, politik adalah matematika, kalkulasi presisi tanpa emosi.

Sementara di seberang, berdiri Mar Bewok, pemimpin Geng Bewok. Tubuhnya besar, wajahnya ditumbuhi jenggot tebal yang membuatnya terlihat seperti beruang lapar. Suaranya berat, langkahnya lamban, tapi kepalanya tajam seperti pisau cukur.

Geng Slow dan Geng Bewok pernah menjadi musuh bebuyutan di masa lalu. Tapi, pemilihan Ketua Geng Negeri Jitika kali ini mengubah segalanya.

Meja Perundingan

Restoran di pinggir Sungai Arjuna malam itu terasa sunyi. Angin malam mengusir asap rokok ke arah jendela, sementara dua pria duduk berhadapan di meja pojok, saling menatap seperti dua singa di padang yang sama.

“Kau datang juga, Koy,” suara Mar Bewok berat, seperti batu yang digeser dari dasar sungai.

Koyoki tidak langsung menjawab. Ia memutar cangkir kopinya, menatap permukaan hitam yang beriak sebelum berkata pelan, “Kali ini, kita tak bisa saling bunuh.”

Di sebelah Mar, berdiri Raka, tangan kanan sekaligus otak strategi Geng Bewok. Matanya tajam seperti bilah pisau, seolah menguliti setiap kata Koyoki.

“Kenapa sekarang?” Raka menyela. “Dulu kalian menutup semua jalan kami. Kalian anggap kami cuma preman pasar.”

“Bahkan, kalian menjatuhkan kami habis-habisan.” tambahnya.

Koyoki tersenyum samar. “Karena kali ini, kami tak punya calon yang cukup kuat. Kami tahu batas kekuatan kami. Dan kami tahu, sendirian, kau juga tak akan menang melawan aliansi geng-geng kecil.”

Mar Bewok menyandarkan punggungnya, menghela napas berat. “Lalu? Kau ingin aku menandatangani kontrak bunuh diri? Jadi boneka kalian?”

“Kau bukan boneka, Mar,” jawab Koyoki dingin. “Kau sekutu. Tapi permainan ini harus jelas. Kau duduk di kursi Ketua Geng Negeri Jitika. Kami pegang kendali arus kekuasaan. Semua orang dapat bagiannya, semua senang.”

Keheningan menggantung beberapa detik. Lalu Mar terkekeh pelan, tawa rendah yang terdengar lebih menyeramkan daripada suara ancaman.

“Kau lupa, Koy,” katanya, “boneka yang sabar biasanya belajar menggerakkan tali sendiri.”

Walau perundingan itu tampak panas, kedua geng saling menatap dengan sorot mata tajam bak singa yang ingin menerkam mangsa, Geng Bewok tetap sepakat dengan tawaran Geng Slow.

Kemenangan Telak

Pemilihan Ketua Geng Negeri Jitika berubah menjadi pesta kemenangan. Geng Slow mengerahkan uang dan jaringan media, Geng Bewok mengerahkan otot dan pengaruh jalanan. Kampanye mereka seperti badai, tak ada yang bisa menahan.

Memang geng-geng kecil memberi perlawanan, mengandalkan ilmu pengetahuan soal negeri Jitika. Menawarkan idealisme soal kehidupan lebih baik bersama mereka, namun perlawanan itu tak berarti.

Geng Bewok punya segalanya, sementara Geng Slow menguasai maya dan nyata. Geng kecil tak bisa berbuat apa-apa, selain menyerah dan menyatu. Terlebih banyak dari ketua-ketua mereka yang tersandera.

Baca juga: Asal Bapak Senang – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Pada malam pengumuman, Mar Bewok berdiri di podium, tangan terangkat tinggi, sorak-sorai membahana dari ribuan pendukung. Kamera media menyorot wajahnya, mengabadikan senyum tebal yang bagi orang awam tampak seperti euforia, tapi bagi Koyoki adalah peringatan.

Melihat sumringahnya senyum Mar Bewok, di belakang panggung, Koyoki bertepuk tangan pelan, tatapannya tetap dingin. Ia tahu, kemenangan hanyalah langkah pertama.

Bulan-bulan Manis Kebersamaan

Bulan-bulan pertama pemerintahan baru terasa seperti musim semi yang tak kunjung habis. Jalan-jalan kota dipenuhi baliho ucapan selamat, media memuja-muji “koalisi emas”, dan anggota geng, yang muak dengan kekacauan lama, mulai percaya bahwa sesuatu yang baik mungkin saja terjadi. Tanpa mereka sadari bahwa yang terpilih juga didalangi oleh orang lama.

Dalam ruang rapat pusat kekuasaan, Koyoki duduk di kursinya seperti raja yang baru saja menaklukkan kerajaan asing. Orang-orang Geng Slow menempati kursi strategis.

Mulai dari ketua bidang geng, lembaga keamanan, bahkan media nasional. Setiap proposal kebijakan melewati meja mereka. Setiap proyek besar menunggu tanda tangan mereka.

“Semua terkendali,” kata Rudi, kepala strategi Geng Slow, suatu malam. “Bewok patuh. Kita memimpin tanpa harus mengotori tangan.”

Koyoki menatap peta kekuasaan di hadapannya. Senyumnya tipis, tapi matanya penuh keyakinan. “Patuh karena tahu siapa yang menghidupinya,” jawabnya dingin. “Dia butuh kita.”

Di sisi lain kota, di markas Geng Bewok, suasananya jauh berbeda. Tak ada pesta, tak ada euforia berlebihan. Hanya rapat-rapat larut malam, kopi pekat, dan diskusi yang nyaris tanpa suara.

Raka duduk di ujung meja, mengutak-atik ponselnya sambil menandai daftar nama di tablet. Nama-nama pejabat, komandan, hingga pengusaha yang selama ini loyal ke Geng Slow. Satu per satu mereka dicatat, dianalisis, dan dicari titik lemahnya.

“Jangan sentuh mereka dulu,” kata Mar Bewok, suaranya berat. “Biarkan Koyoki merasa semua aman. Kita butuh mereka tertidur.”

Raka mengangguk. “Tertidur, lalu mati tanpa tahu siapa yang menaruh racun.”

Malam demi malam, jaringan Geng Bewok merayap seperti bayangan. Mereka menempatkan orang-orangnya di posisi kunci, staf-staf muda, konsultan tak dikenal, dan aparat lapangan yang seolah tidak penting. Semua bergerak senyap, tanpa meninggalkan jejak.

Kenyamanan membuat Geng Slow buta. Mereka sibuk membagi kue kekuasaan, merancang proyek mercusuar, dan bersaing mendapatkan perhatian publik. Tidak ada yang sadar bahwa setiap langkah mereka sudah dihafal, setiap kelemahan mereka sudah dicatat.

Serangan Balik Diam-Diam

Bulan ketujuh, pukulan pertama datang, pelan tapi mematikan.

Sebuah media nasional merilis laporan investigasi tentang dugaan suap proyek infrastruktur. Nama yang muncul di halaman depan adalah Bayu Hartanto, pejabat muda sekaligus loyalis Geng Slow yang dikenal bersih. Rekaman percakapan bocor, lengkap dengan angka-angka dan kode transfer yang mustahil dibantah.

Koyoki menatap layar televisi malam itu, wajahnya tak menunjukkan emosi. Tapi jarinya mengetuk meja tanpa henti, tanda pikirannya berputar cepat.

“Ini bukan kebetulan,” katanya lirih.

Rudi berdiri di ujung ruangan, gelisah. “Kita bisa atur ini. Kita masih punya orang di media. Besok berita ini bisa dibalik.”

Koyoki menggeleng pelan. “Tidak, Rud. Ini terlalu rapi. Ini pesan.”

Pesan kedua datang seminggu kemudian. Dimas Arya, orang kepercayaan lain dari Geng Slow, digiring keluar gedung pemerintah oleh petugas keamanan, dituduh menggelapkan dana bantuan sosial. Kamera media menyorot wajahnya yang pucat, dan dalam hitungan jam, video itu viral ke seluruh negeri.

Di markas rahasia Geng Slow, ketegangan menebal. Rudi membanting laporan ke meja. “Ini tidak mungkin! Dimas bersih. Semua transfer lewat jalur kita. Tidak ada yang bocor.”

Koyoki menatap tajam. “Kalau tidak mungkin, artinya ada yang membuatnya mungkin. Siapa yang kita percaya sekarang?”

Sementara Geng Slow terjebak dalam paranoia, Raka mengawasi semuanya dari jauh. Di ruang kerjanya yang sunyi, ia duduk di depan layar laptop, menatap grafik dan laporan intelijen.

“Dua pion jatuh,” katanya tenang. “Sisanya menunggu giliran.”

Mar Bewok berdiri di belakangnya, menatap keluar jendela. “Jangan terburu-buru. Hancurkan fondasinya pelan-pelan. Biarkan mereka merasa masih berkuasa, sampai tanah di bawah mereka benar-benar hilang.”

Gelombang ketiga datang lebih besar. Dokumen rahasia proyek mercusuar Geng Slow bocor ke publik. Detail aliran dana, nama-nama penerima, hingga percakapan internal beredar di media. Protes rakyat meledak di jalanan, sementara lawan-lawan politik yang dulu diam kini mulai berani bersuara.

Rudi menghantam meja rapat dengan kepalan tangan. “Ini sabotase! Seseorang dari dalam membocorkan semua ini.”

Koyoki berdiri diam, menatap dinding seolah sedang membaca peta tak kasatmata. “Ini bukan sabotase,” katanya pelan. “Ini eksekusi.”

Di sisi lain kota, Raka menutup laptopnya, senyumnya dingin. “Mereka belum sadar. Dan itu yang membuatnya indah.”

Bulan-bulan manis telah berubah menjadi bulan-bulan penuh paranoia.

Orang-orang Geng Slow saling mencurigai, saling menyalahkan. Loyalitas yang dulu kokoh kini retak, seperti kaca yang pecah oleh retakan kecil.

Mereka masih mencoba melawan, masih mencoba mengendalikan keadaan, tetapi setiap langkah terasa seperti menembak bayangan: tidak pernah mengenai sasaran.

Sementara itu, Mar Bewok tetap memainkan perannya dengan sempurna. Di depan publik, ia masih tampak sebagai pemimpin yang bersahaja, patuh pada kesepakatan aliansi.

Ia tetap menelepon Koyoki, tetap mengucapkan kalimat yang sama, “Kita satu perahu, Koy.” Tapi di ruang rapat rahasia, kalimat lain yang keluar dari mulutnya.

“Perahu ini milik kita,” ucap Mar dengan suara berat, “dan mereka hanya penumpang yang akan kita buang ketika badai datang.”

Perang yang Terlambat

Melihat ini, Geng Slow tentu tidak tinggal diam. Mereka mencoba melawan balik. Mereka menggerakkan jaringan lama, membiayai kampanye hitam, menekan aparat, bahkan mencoba menjebak loyalis Bewok.

Namun, semua rencana bocor. Setiap langkah terendus, setiap strategi dipatahkan sebelum sempat dieksekusi.

“Bagaimana bisa?” teriak Koyoki dalam rapat darurat. “Orang-orang itu kita yang tempatkan!”

Rudi menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Mereka sudah diganti, Koy… pelan-pelan. Tanpa kita sadar.”

Operasi besar yang dirancang untuk menjatuhkan Mar Bewok justru berbalik arah. Dokumen rahasia bocor ke publik, menjerat hampir semua petinggi Geng Slow.

Dalam semalam, kekuasaan yang dibangun selama bertahun-tahun runtuh seperti gedung tua yang diguncang gempa. Di ruang kerjanya yang sepi, Koyoki berdiri di depan jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelip.

“Aku yang memelihara naga ini,” gumamnya lirih, “dan aku yang dimakannya.”

Penguasa Tunggal

Malam kemenangan Mar Bewok terasa seperti awal era baru. Di balkon gedung pusat kekuasaan, ia berdiri di samping Raka, menatap ribuan massa yang bersorak memanggil namanya.

“Sekarang,” kata Raka, suaranya rendah tapi tegas, “kita tak lagi jadi bayangan. Negeri ini… milik kita.”

Mar Bewok mengangguk pelan, matanya tajam. “Koyoki pikir aku bonekanya. Dia lupa… boneka yang sabar selalu belajar memotong talinya sendiri.”

Di kafe tua di sudut kota, orang-orang membicarakan kejatuhan Geng Slow seperti legenda urban.

“Aku dengar Koyoki kabur ke luar negeri,” kata seorang pria tua.

 “Bukan,” sahut temannya, “dia sembunyi. Menunggu.”

Yang ketiga menghela napas. “Tak ada yang abadi di Jitika. Hari ini kau penguasa, besok kau hanya catatan kaki.”Di layar televisi di sudut kafe, wajah Mar Bewok kembali muncul. Senyum tipisnya menatap lurus ke kamera, seolah berkata pada seluruh negeri “Aku bukan bayangan. Aku matahari.”

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

Disclaimer:
Cerita ini adalah karya fiksi. Semua nama tokoh, tempat, peristiwa, dan kebijakan yang digambarkan hanyalah hasil imajinasi penulis. Jika ada kesamaan dengan kejadian, nama, atau situasi di dunia nyata, hal tersebut semata-mata kebetulan dan tidak disengaja.

Ditulis oleh: Lamboroada

cerpen

cerpen jurnalistika

cerpen keren



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.