jurnalistika.id – Hujan deras yang mengguyur Kota Tangerang Selatan (Tangsel) pada Selasa, 12 Agustus 2025, kembali menghadirkan pemandangan yang kian akrab, genangan air di sembilan titik, dengan ketinggian antara 10 hingga 60 sentimeter.
Pemandangan alam yang tak Indah biasanya langganan menghampiri sepanjang Jalan Raya Pasar Ceger hingga Perumahan Pondok Maharta.
Pada kejadian terbaru ini, di daerah tersebut terlihat air sempat mengurung ratusan rumah, mengganggu mobilitas, dan memaksa warga mengatur ulang ritme hidup.
Tidak ada yang baru, kecuali tanggal dan intensitas curah hujan. Setiap langit menurunkan berkah, daerah Tangsel selalu kewalahan menampung, sehingga tak sedikit yang merasa berkah berubah menjadi resah.
Baca juga: Remaja 19 Tahun di Tangsel Diduga Tipu 700 Orang Lewat Investasi Bodong Rp1,5 Miliar
Lantas, jika setiap kali hujan dan banjir datang, apakah masyarakat harus dipaksa berdamai dengan lumpur yang bertemu ke rumah? Atau pemerintah setempat seharusnya menghadirkan?
Namun, sebelum itu, perlu melihat sekaligus mempertanyakan mengapa banjir di Tangsel terus berulang setiap kali hujan deras datang?
Ada Faktor Kegagalan Tata Ruang Kota
Banjir berulang di Tangsel tak bisa dianggap semata hanya fenomena alam. Apalagi menyebutnya kodrat tuhan. Melainkan harus menelisik lebih dalam tentang olahan manusia di buminya.
Tangsel banjir bisa saja menjadi potret kegagalan sistemik dalam tata kelola ruang kota. Dalam satu dekade terakhir, pembangunan di Tangsel melesat tanpa kendali.
Lahan resapan air disulap menjadi perumahan rapat, jalan beraspal, dan pusat komersial, tanpa menyisakan ruang terbuka hijau sebagaimana diamanatkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang semestinya membatasi pembangunan hingga maksimal 60 persen dari lahan, kerap dilanggar.
Baca juga: Penyebab Macet Parah di Ciledug Tangerang Selasa Malam
Banyak rumah berdiri hingga menempel pagar, seluruh pekarangan diplester rapat, membuat hujan tidak punya pilihan selain mengalir deras ke saluran yang kapasitasnya tak memadai.
Drainase kota masih berukuran kecil, dangkal, dan kerap tersumbat sampah. Perubahan pola curah hujan yang kian ekstrem, akibat perubahan iklim, tidak pernah diimbangi dengan redesain sistem drainase yang memadai.
Akibatnya, setiap kali hujan turun lebih dari satu jam, kota seperti Tangsel berubah menjadi cekungan air sementara. Perbaikan tanggul di sejumlah titik, alih-alih mengurangi risiko, justru memperparah aliran karena menghambat distribusi air ke hilir.
Temuan Pemprov Banten
Temuan Gubernur Banten Andra Soni pada penyusuran 10,4 kilometer Kali Angke beberapa pekan lalu mengonfirmasi masalah mendasar yaitu penyempitan aliran akibat tanah timbul, pendangkalan sungai, dan proyek tanggul yang belum tuntas.
Kali Angke, yang menjadi urat nadi aliran air di kawasan Pondok Aren hingga Ciledug, kini kehilangan sebagian kapasitas alirnya.
Sedimentasi dan penyempitan membuat air meluap lebih cepat, apalagi jika saluran penghubung dari kawasan permukiman juga sudah sarat air.
Persoalan ini bukan urusan Tangsel semata. Kali Angke melintasi batas administrasi, sehingga pengelolaannya memerlukan koordinasi lintas daerah dan lintas kewenangan.
Selama penanganan banjir hanya dikerjakan secara parsial oleh satu kota atau satu instansi, hasilnya hanya akan bersifat kosmetik, genangan surut di satu titik, tapi muncul di titik lain.
Tak Didukung Infrastruktur Pengendali Banjir
Minimnya infrastruktur pengendali banjir, seperti kolam retensi, embung, atau waduk, juga membuat Tangsel nyaris tanpa penyangga ketika volume air melonjak.
Di titik-titik langganan banjir seperti Perumahan Maharta atau Kampung Bulak, belum terlihat adanya proyek strategis jangka panjang.
Alih-alih memperkuat kapasitas kota menghadapi hujan ekstrem, kebijakan lebih sering bersifat reaktif. Artinya, mengerahkan pompa, membagikan karung pasir, atau sekadar mengimbau warga waspada.
Padahal, banjir berulang adalah alarm keras bagi pemerintah daerah. Genangan air itu menandakan bahwa perencanaan tata kota gagal mengantisipasi dinamika iklim dan pertumbuhan penduduk.
Lebih buruk lagi, ia menunjukkan lemahnya penegakan aturan terhadap pengembang dan warga yang melanggar ketentuan ruang terbuka hijau.
Dibutuhkan Sistem Konkret Agar Banjir Tak Berulang Lagi
Solusi bukan lagi sekadar normalisasi sungai atau pengerukan saluran, meski itu penting. Tangsel perlu merancang ulang sistem pengelolaan airnya secara menyeluruh.
Penegakan RDTR harus tegas, ruang terbuka hijau harus dipulihkan, dan pembangunan kawasan baru harus diwajibkan memiliki fasilitas resapan air.
Infrastruktur pengendali banjir mesti menjadi prioritas, bukan opsi tambahan. Dan yang tak kalah penting, koordinasi lintas wilayah harus diinstitusikan, bukan sekadar pertemuan insidental menjelang musim hujan.
Banjir di Tangsel akan terus berulang selama memperlakukan air sebagai musuh yang harus diusir, bukan sebagai bagian dari ekosistem yang perlu diatur alirannya dengan bijak.
Kota ini butuh lebih dari sekadar pompa dan karung pasir, namun juga butuh visi tata ruang yang berani, disiplin penegakan aturan, dan kesadaran bahwa setiap tetes hujan yang jatuh bisa menjadi ujian bagi kualitas perencanaan.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.
