SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Asal Bapak Senang – (Sepotong Cerpen Fiksi)

  • Jurnalistika

    20 Agt 2025 | 10:15 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi cerpen Asal Bapak Senang.

jurnalistika.id – Langit sore di atas istana Negeri Jitika berwarna jingga, memantul pada jendela-jendela kaca yang tinggi. Begitu juga lewat siaran televisi, negeri yang katanya kaya ini selalu tampak biru, seolah negeri itu tak pernah mengenal mendung.

Setiap tayangan berita menampilkan sawah hijau, anak-anak berseragam tersenyum, dan pejabat yang berpidato di atas panggung dengan sorot kamera yang penuh wibawa. Begitulah citra Jitika, sebuah negeri yang katanya makmur, katanya kuat, katanya sejahtera.

Sayangnya, di balik layar, kenyataan jauh berbeda. Jalanan kota dipenuhi wajah-wajah lesu, perut lapar, dan tangan-tangan yang tak tahu lagi harus bekerja apa. Rakyat Jitika hidup dalam derita yang tak pernah sampai ke telinga pemimpinnya, Sradoyo Pablo.

Sebab, lewat singgasananya, Sradoyo Pablo selalu menatap layar televisi besar yang menayangkan dirinya sendiri, senyum lebar, tangan melambai, suara pidato penuh keyakinan.

Baca juga: Semua Aku Dipajaki – (Sepotong Cerpen Fiksi)

Bagi Sradoyo, kebenaran adalah angka-angka di atas kertas. Kesejahteraan adalah laporan yang dibisikkan para menterinya.

Ia hanya mendengar kabar yang membuatnya senang. Apa pun selain itu dianggap fitnah, penghasut, atau suara musuh negara.

“Pertumbuhan ekonomi kita naik tiga persen, Bapak,” bisik Menteri Ekonomi suatu pagi, sambil menunduk dalam.

Sradoyo tersenyum puas. “Bagus. Rakyat pasti berbahagia.”

“Benar, Bapak,” jawab sang menteri.

Ia tak pernah berani berkata bahwa di luar sana, buruh mogok makan, pedagang kecil gulung tikar, dan desa-desa menjerit kelaparan.

Yang penting, asal bapak senang.

Laporan Palsu

Menteri-menteri Sradoyo lebih sibuk memamerkan jam tangan mahal di layar kaca, mengendarai mobil mewah, dan memberi pernyataan yang membuat rakyat geram.

“Rakyat harus belajar hidup sederhana,” kata Menteri Sosial, padahal ia sendiri baru saja membeli berlian untuk pesta ulang tahunnya.

“Buruh harus bersyukur masih punya pekerjaan,” ujar Menteri Perindustrian, sambil memperlihatkan foto liburannya di Eropa.

Sementara di istana, Sradoyo hanya mengangguk-angguk puas. Ia bangga memperlihatkan prestasi semu pemerintahannya di acara kenegaraan.

Televisi menayangkan pidatonya dengan musik gagah di belakang layar. Media sosial dipenuhi potongan video dirinya tersenyum, melambaikan tangan, dan menyebut rakyat Jitika sebagai “tulang punggung negara.”

Sementara itu, rakyat benar-benar sudah patah tulang.

IApi di Jalanan

Puncak kemarahan itu dimulai dari sebuah pabrik besi. Buruh yang sudah berhari-hari bekerja tanpa gaji akhirnya turun ke jalan. Mereka membawa poster lusuh:

“Kami lapar. Kami manusia.”

Seorang buruh tua berteriak lantang, “Anak saya belum makan dua hari! Sementara mereka berpesta di istana! Apa ini yang disebut pembangunan?!”

Ratusan buruh bergabung, suara mereka menggema ke seluruh penjuru kota. Pasar-pasar ikut terbakar amarah.

Pedagang kecil berteriak, “Dagangan kami membusuk! Siapa yang mau membeli kalau rakyat tak punya uang?”

Amarah juga terasa di kampus, mahasiswa yang masih memiliki akal sehat menggelar diskusi di bawah temaram lampu.

“Kita tak bisa tinggal diam,” kata seorang mahasiswa bernama Arka.

“Tapi aparat akan menindas,” sahut temannya.

Arka mengepalkan tangan. “Kalau kita diam, negeri ini akan hancur. Lebih baik kita berdiri melawan.”

Baca juga: Demo di Pati: Peringatan Bahwa Rakyat Adalah Tuannya

Malam itu, poster-poster dicetak, spanduk-spanduk disiapkan.

Besoknya, jalanan ibu kota meledak dengan ribuan suara: “Turunkan Sradoyo! Hidup rakyat Jitika!”

Istana Panik

Sradoyo duduk di ruang singgasananya, wajahnya tetap tenang. Dari layar televisi istana, ia melihat lautan massa.

Namun, para menterinya buru-buru meyakinkan.

“Itu hanya segelintir provokator, Bapak. Jangan khawatir.”

“Betul, Bapak. Segera kami atasi. Rakyat tetap mendukung Bapak.”

Sradoyo tersenyum lega. “Baik. Pastikan semua terkendali. Jangan sampai ada yang mengganggu citra kita di televisi.”

Menteri Pertahanan memberi hormat, lalu memerintahkan aparat.

“Bubarkan mereka. Jangan kasih ruang sedikit pun.”

Benturan

Hari itu, jalan-jalan pusat kota berubah jadi medan perang. Gas air mata ditembakkan. Pentungan menghantam tubuh rakyat. Suara tembakan peringatan meledak di udara.

Seorang buruh berteriak kepada polisi yang menghadang, “Kenapa kalian memukul kami? Kami juga rakyat, sama seperti kalian!”

Seorang mahasiswa mendekat, darah menetes dari keningnya. “Saudara, berhentilah jadi anjing kekuasaan! Lihat wajah rakyatmu sendiri!”

Namun barisan aparat tetap maju, menembakkan gas, mendorong dengan tameng.

Di sisi lain, rakyat semakin nekat. Mereka mengangkat batu, kayu, apa saja yang bisa dilempar. Sorakan membelah udara:

“Rakyat tidak akan mundur! Rakyat tidak takut mati!”

Gelombang yang Tak Terhenti

Hari-hari berikutnya, api perlawanan merembet ke desa-desa. Dari layar televisi, rakyat desa melihat kekerasan aparat.

Mereka marah, mereka pun bergerak. Kantor-kantor pemerintah lokal diserbu. Patung-patung pejabat dirobohkan.

Pergerakan didorong bukan karena emosi semata, rakyat di desa-desa juga merasa pejabat darahnya memiliki sifat serupa dengan yang di Ibu Kota. Mereka merasa terwakili dengan pergerakan di dekat Istana.

Rakyat desa tidak ingin tinggal diam, dan ingin turut ambil bagian. Perkumpulan terbentuk, dan langsung turun ke Istana.

Jalan raya menjadi lautan manusia. Bendera-bendera rakyat berkibar, spanduk menutupi langit kota. Aparat mulai goyah. Sebagian menurunkan tameng, diam-diam melepas seragam, dan bergabung dengan massa.

Akhirnya, ribuan orang mengepung istana. Pagar besi didobrak, kawat berduri ditumbangkan. Suara massa bergemuruh seperti badai.

“Turunkan Sradoyo! Turunkan Sradoyo!”

Kekuasaan Bapak Sampai Sini

Menteri-menteri berlari kocar-kacir. Beberapa bersembunyi di balik kamar mewah, tapi rakyat menemukannya. Mereka diseret keluar, dipajang di depan kerumunan.

“Ini orang-orang yang hidup dari darah kita!” teriak seorang pedagang.

Menteri itu gemetar, berusaha bicara, “Saya hanya menjalankan tugas…”

Namun rakyat tak mendengar lagi. Harta mereka dilucuti, dimasukkan ke kas negara, dipajang sebagai bukti kejahatan.

Lalu, Sradoyo ditemukan. Ia duduk pucat di ruang singgasana, jas kebesarannya berantakan. Tak ada lagi senyum percaya diri.

Seorang mahasiswa mendekat, menatapnya dengan mata penuh api.

“Beginikah caramu mencintai rakyat, Bapak? Dengan menutup telinga dan hanya percaya laporan manis?”

Sradoyo tergagap. “Aku… aku hanya ingin membuat negeri ini tampak baik…”

“Tidak, Bapak,” sahut buruh tua yang tubuhnya penuh luka.

“Yang Bapak lakukan hanya asal Bapak senang. Dan karena itu, rakyat menderita.”

Massa menyeret Sradoyo keluar. Tangga istana yang dulu ia banggakan kini menjadi jalan kehinaannya. Tak ada lagi aparat yang melindungi, tak ada lagi menteri yang menjilat.

Namun, massa tidak mengeksekusinya, melainkan melucuti kesombongan di wajah Sradoyo. Ia menjadi tahanan rakyat bersama dengan menteri-menteri yang durjana.

Revolusi

Hari itu, rakyat Jitika merebut kembali negerinya. Istana yang megah berubah menjadi simbol kehancuran kekuasaan.

Harta pejabat dilucuti, kas negara dipenuhi, dan janji baru diucapkan.

“Negeri ini harus kembali pada rakyat.”

Di tengah kerumunan, seorang mahasiswa berteriak lantang.

“Kita sudah membuktikan! Negeri ini bukan milik penguasa! Negeri ini milik kita semua!”

Dan sorak-sorai pun pecah. Rakyat Jitika bersatu, berdiri di atas reruntuhan kebohongan, bersumpah tak akan lagi rela ditipu hanya demi membuat seorang penguasa tersenyum.

Revolusi itu lahir bukan dari laporan manis, melainkan dari perut lapar, tangan yang terikat, dan hati yang muak. Dan sejak hari itu, negeri Jitika tak lagi mengenal istilah “Asal bapak senang“.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

Disclaimer:
Cerita ini adalah karya fiksi. Semua nama tokoh, tempat, peristiwa, dan kebijakan yang digambarkan hanyalah hasil imajinasi penulis. Jika ada kesamaan dengan kejadian, nama, atau situasi di dunia nyata, hal tersebut semata-mata kebetulan dan tidak disengaja.

Ditulis oleh: Lamboroada

Asal Bapak Senang

cerpen



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.