SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Kita Ini Insan, Bukan Seekor Sapi

  • Jurnalistika

    14 Okt 2025 | 13:08 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi manipulasi manusia dengan sapi di tengah jalan kota.

jurnalistika.id – Pagi ke pagi, jam weker berbunyi dengan nada yang sama. Tubuh tergesa, kepala masih separuh tertinggal di ranjang.

Lalu derap langkah manusia memenuhi jalanan, wajah menunduk, menatap smartphone tapi mata kosong, pikiran sudah melesat ke tumpukan target dan tenggat waktu.

Begitulah irama hidup zaman ini, rutinitas yang rapi tapi hampa. Kita hidup, tapi tidak benar-benar merasa hidup.

Ada satu kalimat yang terasa sederhana tapi sarat makna dalam lagu Zona Nyaman karya Fourtwnty: “Kita ini insan, bukan seekor sapi.”

Baca juga: Bukan Salah Monyet Mengusik Manusia

Rasa-rasanya, lirik ini bukanlah imajinasi, kata per kata tampak memotret kehidupan manusia dewasa ini. Yang seolah-olah hidup di zaman yang menjadikan produktivitas sebagai agama baru.

Entah sejak kapan, manusia menjadikan kerja sebagai pusat dari seluruh makna hidupnya. Pekerjaan seakan menjadi identitas, penentu harga diri, bahkan alat ukur keberhasilan seseorang.

Manusia berlomba-lomba mengejar dunia, padahal dunia tak pernah benar-benar berhenti berlari. Manusia menukar waktu, tenaga, bahkan jati diri hanya demi angka di slip gaji, demi posisi di kantor, atau demi pengakuan semu dari orang yang tak pernah betul-betul mengenal kita.

Ukuran keberhasilan tak lagi ditentukan oleh kedalaman batin, melainkan oleh kecepatan kerja, jumlah capaian, dan besarnya penghasilan.

Di kantor, di layar ponsel, di ruang digital yang penuh notifikasi, manusia kini sibuk memelihara citra, sibuk, berguna, dan berprestasi. Ironisnya, di balik segala kesibukan itu, banyak di antara manusia yang sesungguhnya merasa hampa.

Monoton

Pagi ke pagi, tubuh bergerak seperti mesin yang dihidupkan otomatis. Bangun, bekerja, pulang, tidur. Esoknya terulang lagi.

Siklus itu tampak efisien, tapi perlahan mencabut kemanusiaan dari akar terdalamnya diri, yaitu kemampuan untuk merasakan dan menikmati hidup.

Dalam ilmu psikologi eksistensial, keadaan ini disebut sebagai existential void, kekosongan makna yang lahir ketika manusia berhenti menanyakan “untuk apa aku melakukan semua ini?” dan hanya menjalani rutinitas tanpa kesadaran.

Mungkin banyak orang bekerja dengan tekun, tapi apakah mereka masih bekerja dengan hati? Lagu Fourtwnty mengingatkan, “Bekerja bersama hati, berkarya bersama hati.”

Baca juga: Demokrasi Mancipta Pemerintahan Relasional, Sebabkan Negeri Stagnan

Kalimat itu mengandung nilai filosofis yang dalam. Ia berbicara tentang ethos kerja humanistik, sebuah konsep bahwa kerja lebih dari aktivitas ekonomi. Ada ekspresi diri, kontribusi sosial, dan sarana aktualisasi kemanusiaan yang perlu dirasa.

Sayangnya, semangat ini nyaris lenyap di tengah budaya kapitalisme modern yang menilai manusia dari hasil, bukan proses.

Sistem ekonomi hari ini menempatkan manusia sebagai roda kecil dalam mesin raksasa produksi. Ia dituntut untuk efisien, patuh, dan bisa diandalkan, seperti sapi perah yang terus menghasilkan tanpa berhenti.

Kesetiaan pada pekerjaan dianggap moralitas, sementara kelelahan dianggap kelemahan. Akibatnya, manusia mulai menjauh dari fitrahnya sebagai makhluk yang berpikir dan merasakan. Ia kehilangan ruang untuk menimbang, merenung, dan berimajinasi.

Jebakan Modern

Padahal, menurut filsuf Erich Fromm dalam bukunya The Sane Society (1955), manusia modern sebenarnya tidak hidup, melainkan berfungsi.

Ia terjebak dalam apa yang disebut Fromm sebagai mode of having, bukan mode of being. Segala hal diukur dari kepemilikan, jabatan, harta, status, bukan dari keberadaan diri yang utuh.

Inilah mengapa banyak orang bisa memiliki segalanya, tapi tetap merasa kekurangan. Karena manusia yang kehilangan makna hidupnya, pada dasarnya kehilangan dirinya sendiri.

Baca juga: Merawat Kader Ala Don Vito Corleone

Manusia bekerja keras untuk mencapai sesuatu yang sering kali tak dipahaminya. Di usia muda, menunda kebahagiaan dengan janji akan menikmatinya “nanti”.

Namun, “nanti” itu kerap tak pernah tiba. Sebab sistem membuat kita terus berlari tanpa garis akhir. Saat satu target tercapai, target lain segera menunggu.

Kita hidup di bawah tekanan konstan untuk “lebih”, lebih sukses, lebih cepat, lebih kaya. Dan dalam kegilaan itu, kita perlahan kehilangan kemampuan untuk merasa cukup.

Menyadari Manusia

Namun manusia tidak diciptakan untuk sekadar bekerja. Dalam perspektif ekologi spiritual, manusia adalah bagian dari alam yang memiliki ritme alami, ada masa tumbuh, berbuah, beristirahat, dan kembali segar.

Ketika manusia dipaksa untuk terus produktif tanpa henti, ia melawan hukum alamnya sendiri. Tak heran jika kelelahan mental, burnout, menjadi epidemi diam di generasi sekarang.

Mungkin di sinilah letak makna sejati dari ajakan “keluarlah dari zona nyaman”. Bukan sekadar tentang keberanian mengejar mimpi besar, tapi keberanian untuk berhenti sejenak dan menolak menjadi budak sistem.

Berani untuk mendengarkan diri sendiri, menolak bekerja tanpa makna, dan menumbuhkan kembali rasa syukur atas hal-hal sederhana.

Karena hidup sejatinya bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tapi seberapa dalam kita memahami langkah kita sendiri.

Hidup bukan tentang menimbun pencapaian, tapi tentang menumbuhkan makna. Dan makna hanya tumbuh ketika manusia menghadirkan hatinya dalam setiap hal yang ia kerjakan.

Kita ini insan, makhluk berakal dan berperasaan, bukan sapi yang sekadar mengikuti perintah juga naluri. Juga punya daya untuk menolak menjadi roda kecil dalam sistem yang menelan jiwanya sendiri.

Kita punya hak untuk memilih, untuk berkata “cukup”, dan untuk menentukan arti kebahagiaan versi kita sendiri.

Maka, barangkali saatnya kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk ambisi dan menatap cermin. Tanyakan dengan jujur pada diri sendiri, apakah aku masih menjadi manusia yang utuh, atau hanya pekerja yang hidup di bawah bayang-bayang mesin?

Jika jawabannya membuatmu diam, mungkin itulah awal dari kesadaran.

Karena hidup yang bermakna tak diukur dari berapa banyak yang dihasilkan, tapi dari seberapa dalam kita mencintai apa yang kita lakukan. Dan seperti pesan Fourtwnty yang mengalun lembut tapi menusuk “Tanamkan pesanku, agar tak keliru, bekerja bersama hati.”

Sebab pada akhirnya, kita ini insan, bukan seekor sapi.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

kehidupan

manusia

refleksi



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.