SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Demokrasi Mancipta Pemerintahan Relasional, Sebabkan Negeri Stagnan

  • Jurnalistika

    13 Okt 2025 | 12:49 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi.

jurnalistika.id – Dalam lanskap politik modern, kemenangan seorang presiden di negeri demokrasi tidak lagi semata ditentukan oleh ide, visi, atau integritas personal, melainkan juga oleh kekuatan jaringan dan luasnya koalisi.

Demokrasi pada dasarnya diidekan guna melahirkan pemimpin berbasis gagasan. Namun, dewasa ini justru menjelma menjadi arena relasi kekuasaan yang saling mengikat.

Melihat di atas permukaan, koalisi tampak sebagai wujud kompromi untuk stabilitas pemerintahan. Namun di bawahnya, tersimpan kontrak tak tertulis, balas jasa kepada para pendukung politik, donatur, hingga kelompok kepentingan yang ikut menenun kemenangan.

Boleh jadi para politikus akan membantah soal-soal itu. Namun pada prakteknya, cukup dengan mata telanjang hal itu dapat dilihat, bahka noleh mata awam.

Baca juga: Iwan Fals: Musisi Pembangkit Idealisme Anak Muda

Dari sinilah lahir apa yang dapat disebut sebagai pemerintahan relasional, sebuah sistem kekuasaan yang dibangun bukan oleh meritokrasi, tetapi oleh jaringan kedekatan dan utang politik.

Begitu pemimpin terpilih duduk di kursi kekuasaan, dilema itu segera muncul. Ia dihadapkan pada tekanan untuk mengakomodasi pihak-pihak yang berperan dalam pemenangannya.

Jabatan publik pun berubah fungsi menjadi alat negosiasi dan simbol penghargaan atas loyalitas. Maka muncul peta kekuasaan yang tidak lagi ditentukan kemampuan, melainkan oleh relasi.

Seseorang bisa menduduki posisi strategis di kabinet hanya karena ia bagian dari partai koalisi, atau karena hubungan personal yang kuat dengan penguasa.

Penampakan Pemerintah Relasional

Dampaknya terasa nyata. Ketika jabatan publik diberikan tanpa mempertimbangkan keahlian, maka kapasitas institusi akan melemah.

Seorang menteri pendidikan yang berlatar belakang politik atau bisnis, misalnya, akan kesulitan memahami kompleksitas kebijakan pendidikan yang menuntut visi jangka panjang.

Ia mungkin piawai dalam negosiasi politik, namun tidak dalam membaca peta mutu pendidikan nasional, menilai kurikulum, atau memahami dinamika guru dan siswa di lapangan.

Baca juga: Merawat Kader Ala Don Vito Corleone

Akibatnya, kebijakan yang lahir sering kali pragmatis dan reaktif. Maksud daripada itu, lebih berorientasi pada citra dan kepentingan politik ketimbang kualitas pendidikan.

Dalam kasus lain, jabatan strategis bisa diberikan kepada sosok yang menjadi perpanjangan tangan kelompok kapital. Menteri atau pejabat yang seharusnya mengemban misi negara, justru menjadi juru bicara kepentingan ekonomi tertentu.

Kebijakan dirancang agar tidak mengganggu kenyamanan modal, bukan untuk memperkuat kemandirian bangsa. Imbasnya jelas pada fungsi negara yang tereduksi.

Pejabat dalam kejibakannya bukan lagi pengatur keseimbangan sosial. Hanya sekadar pelayan bagi mereka yang punya akses pada kekuasaan.

Logika serupa berlaku pula di lembaga-lembaga negara lain. Ketika jabatan diisi atas dasar relasi, profesionalisme menjadi barang langka.

Lembaga keuangan negara bisa dipimpin oleh sosok yang tak memiliki kompetensi teknis, lembaga pengawasan diisi oleh figur kompromi politik, dan badan hukum dikendalikan oleh orang yang tak memahami prinsip dasar keadilan.

Sistem pemerintahan pun kehilangan kemampuan korektifnya. Ia tidak lagi berjalan berdasarkan aturan dan kinerja, melainkan berdasarkan loyalitas.

Stagnasi Nasional Disebabkan Pemerinahan Relasional

Dalam jangka panjang, model semacam ini menciptakan stagnasi nasional. Energi politik tersedot untuk menjaga harmoni antar kelompok pendukung.

Presiden dan lingkarannya sibuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan agar koalisi tidak retak. Keputusan publik menjadi kompromi tanpa arah.

Kebijakan tidak lagi berangkat dari kebutuhan rakyat, melainkan dari negosiasi antar kepentingan politik. Maka lahirlah stabilitas semu, negara tampak tenang di permukaan, tetapi sebenarnya beku di dalam.

Stagnasi ini bukan sekadar soal ekonomi atau kebijakan, melainkan soal mentalitas politik. Ketika sistem dibangun atas dasar relasi personal, maka kesetiaan menjadi lebih berharga daripada kompetensi.

Birokrasi menyesuaikan diri dengan logika itu, orang-orang belajar bahwa yang penting bukan bekerja baik, tetapi pandai menjaga hubungan. Dalam kata lain pula, bisa disebut “menjilat”.

Baca juga: Potensi Monopoli Ekonomi Program MBG

Akibatnya, inovasi dianggap ancaman, kritik dipandang sebagai pembangkangan, dan gagasan baru sering dibungkam demi menjaga kenyamanan struktur lama.

Dalam teori politik, situasi semacam ini dapat dipahami melalui konsep patrimonialisme modern yang pernah dijelaskan Max Weber. Negara secara formal memiliki institusi rasional, ada kementerian, lembaga pengawasan, sistem hukum, tetapi dalam praktiknya, semua bergerak berdasarkan hubungan personal.

Kekuasaan tidak dijalankan oleh sistem, melainkan oleh jaringan. Demokrasi hanya hidup secara prosedural, namun mati secara substantif.

Paradoks Kompleks

Pemerintahan relasional menciptakan paradoks yang sulit diurai. Ia menjamin stabilitas politik jangka pendek, tetapi meniadakan daya gerak bangsa.

Semua pihak berpengaruh diberi tempat agar tidak menimbulkan konflik, tetapi dengan itu pula, kompetisi gagasan mati. Tidak ada kebijakan yang lahir dari perdebatan intelektual yang sehat, sebab yang dijaga adalah keseimbangan kekuasaan, bukan kualitas keputusan.

Untuk keluar dari kebekuan ini, dibutuhkan keberanian politik yang jarang dimiliki pemimpin modern. Apa itu? Ialah keberanian menempatkan orang berdasarkan kapasitas, bukan kedekatan.

Meritokrasi tidak akan tumbuh dalam sistem yang dikuasai relasi personal, sebab ia menuntut kejujuran untuk mengakui keunggulan orang lain di luar lingkar kekuasaan.

Reformasi birokrasi, dalam konteks ini, bukan hanya soal perampingan struktur, melainkan pembenahan nilai bagaimana kekuasaan didefinisikan, dan untuk siapa ia dijalankan.

Pemerintahan relasional memang mampu mempertahankan ketenangan politik, tetapi menutup pintu kemajuan. Ia membuat negara tampak stabil, namun sebenarnya kehilangan daya hidup.

Sebab ketika jabatan menjadi hasil kompromi, bukan hasil kapasitas, maka arah pembangunan kehilangan kompasnya. Negeri berjalan tanpa visi, sekadar mengulang pola lama dengan wajah baru.

Dan di situlah stagnasi bermula, saat demokrasi menciptakan kekuasaan yang lebih sibuk menjaga relasi ketimbang membangun peradaban. Selama logika relasional tetap menguasai sistem pemerintahan, bangsa ini akan terus melangkah di tempat.

Menghasilkan gambaran yang tampak kokoh, namun sesungguhnya rapuh; tampak bergerak, padahal diam di lingkar yang sama.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

Demokrasi

kolom

Opini



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.