SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Supergrup Swami: Suara Perlawanan di Era Tirani

  • Jurnalistika

    01 Okt 2025 | 14:55 WIB

    Bagikan:

image

Personel Swami.

jurnalistika.id – Dulu sekali Indonesia pernah memiliki supergrup musik yang berisi sederet musisi kawakan bernama Swami. Berdiri pada akhir dekade 1980-an kala rezim Orde Baru menguat dengan kuku besinya.

Pabila menilik perjalanan era musik dunia, alunan nada maupun lirik-liriknya tidak hanya berbicara soal harmoni, dan panggung. Perpaduan alat musik ini juga kerap menjadi cermin zaman, merekam denyut sosial politik yang membentuk generasinya.

Grup musik pun hadir menciptakan lirik-lirik yang membakar semangat, bahkan bernada perlawanan. Demikian pula lahirnya Swami, mereka menghadirkan suara lantang perlawanan melalui musik.

Swami berdiri pada 1989, mereka disebut supergrup lantaran dihuni oleh nama-nama besar, Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel Yakin, Nanoe, Innisisri, Jockie Suryoprayogo, dan Totok Tewel.

Kehadiran Setiawan Djodi, pengusaha sekaligus patron seni, menjadi energi tambahan yang menjadikan band ini lebih dari sekadar proyek musik biasa.

Baca juga: 5 Konser Paling Banyak Penonton di Dunia, Lady Gaga Masuk!

Sebelum disatukan dalam satu naungan, sebagian besar personel Swami datang dari lingkaran Sirkus Barock, kelompok musik progresif asal Yogyakarta yang diprakarsai Sawung Jabo di era 70-an.

Nama Swami sendiri merupakan plesetan nakal dari kata “suami” karena seluruh anggotanya kala itu memang telah berkeluarga.

Namun jangan biarkan kesan ringan dari namanya menipu. Musik Swami adalah dentuman keras yang mengguncang kenyamanan rezim.

Dapat didengar melalui denting gitar akustik Iwan Fals hingga sentuhan flute Naniel Yakin. Ditambah gebukan perkusi Innisisri hingga racikan lirik penuh satire, Swami menghadirkan karya yang menyuarakan keresahan rakyat.

Nada Perlawanan di Album Pertama

Album pertama mereka, Swami I (1989), adalah ledakan. Lahir dari studio-studio sederhana di Condet, Klender, Pasar Minggu, hingga One Feel Studio, karya itu menyimpan amunisi lagu-lagu yang meledak di jalanan.

Bento dan Bongkar menjadi anthem kaum muda yang muak dengan kepalsuan elite politik dan kerakusan penguasa.

Namaku Bento, rumah real estate, mobilku banyak, harta berlimpah…” potongan lirik yang sinis, menelanjangi wajah oligarki dengan cara yang tak pernah seberani itu.

Lagu ini bukan sekadar satire, tapi ejekan yang telanjang pada budaya korupsi dan gaya hidup para pejabat serta pengusaha yang meraup keuntungan di bawah bayang Orde Baru.

Baca juga: 7 Band Legendaris Tanah Air yang Lagu-Lagunya Nggak Lekang Waktu!

Sementara itu, “Bongkar” adalah teriakan jalanan. Dengan refrain yang berulang bak pekikan massa, lagu ini memanggil pendengarnya untuk keluar, menolak tunduk, dan menghancurkan kesewenang-wenangan.

Di tengah situasi di mana kritik bisa berujung represi, keberanian Swami menghadirkan lirik seperti “Penindasan serta kesewenang-wenangan, banyak lagi t’ramat banyak untuk disebutkan…” adalah sebuah gebrakan yang menggema lebih keras daripada orasi.

Tak heran, kedua lagu ini kerap terdengar sampai sekarang di kerumuman massa aksi yang menuntut keadilan. Terlebih dari kaum muda atau mahasiswa.

Album Swami II

Album kedua, Swami II (1991), mencoba menjelajahi lanskap musikal yang lebih eksperimental. Dengan lagu-lagu seperti “Hio”, “Nyanyian Jiwa”, dan “Robot Bernyawa”, Swami meramu jazz, rock progresif, hingga nuansa tradisional yang membentuk ruang suara yang lebih liar.

Namun, tanpa nama Iwan Fals di sampul depan, mungkin menjadikan daya tarik komersialnya meredup. Penjualan album ini jauh dari gemilang.

Tak lama setelahnya, Swami bubar, meski sempat berkumpul kembali dalam proyek Dalbo pada 1993.

Suara yang Abadi Melintasi Zaman

Meski perjalanan mereka singkat, warisan Swami begitu abadi. Mereka adalah suara lantang di tengah tirani, keberanian yang menjelma melodi.

Musik mereka adalah peluru tanpa mesiu, yang justru lebih berbahaya karena mengendap di ingatan publik.

Di era ketika Soeharto memusatkan kekuasaan layaknya raja Jawa modern, Swami hadir sebagai pengingat bahwa seni bisa menjadi senjata paling tajam.

Baca juga: Apa Band Pertama di Dunia? Simak Penjelasannya

Hari ini, mendengarkan kembali “Bento” dan “Bongkar” bukan semata bernostalgia. Kedua lagu itu adalah perjalanan kembali ke masa di mana musik menjadi bahasa perlawanan, tempat di mana gitar dan lirik menyatu sebagai manifestasi keberanian.

Swami mungkin hanya sekejap dalam sejarah musik Indonesia, tetapi gema mereka tidak pernah benar-benar padam.

Seperti bara yang tetap menyala dalam ingatan, Swami mengajarkan bahwa musik sejatinya bukan hanya hiburan, namun bisa menjadi manifesto, pengingat bahwa suara rakyat tak pernah bisa dibungkam selamanya.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.