SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Jurnalistika

Review Peacock (2024): Kala Pekerjaan Membuat Krisis Identitas

  • Jurnalistika

    12 Okt 2025 | 06:05 WIB

    Bagikan:

image

Film Peacock (2024). (Dok. IMDb)

jurnalistika.id – Ada momen dalam hidup ketika pekerjaan yang dijalani justru membuat kehilangan diri sendiri. Bukan karena beban atau ambisi, cuma karena terlalu sering berpura-pura menjadi seseorang yang bukan kita.

Itulah inti dari Peacock (2024), film garapan sutradara Austria Bernhard Wenger yang terasa seperti cermin retak. Memantulkan betapa rapuhnya identitas manusia di tengah tuntutan untuk selalu sempurna.

Sinopsis Singkat

Film ini berpusat pada sosok Matthias (Albrecht Schuch), seorang pria yang bekerja di perusahaan bernama My Companion – Friend for Hire.

Pekerjaannya sederhana tapi absurd, dia menjadi siapa pun yang dibutuhkan klien. Ia bisa berperan sebagai kekasih yang penuh perhatian, putra ideal yang tahu cara bicara santun, atau sekadar teman kencan sementara untuk mengusir sepi.

Baca juga: Iwan Fals: Musisi Pembangkit Idealisme Anak Muda

Sosoknya selalu tampil dengan wajah yang ramah, suara lembut, dan sikap yang sopan. Sayangnya, di balik itu semua, tak ada yang benar-benar tahu siapa Matthias sebenarnya, bahkan dirinya sendiri.

Kehidupan Matthias berjalan mulus sampai sang kekasih, Sophia (Julia Franz Richter), menegurnya dengan kalimat yang mengguncang, “Kau tak nyata lagi.”

Sejak saat itu, lapisan-lapisan topeng yang selama ini ia pakai mulai runtuh. Wenger menampilkan perjalanan batin Matthias ini bukan dengan dramatika berlebihan, melainkan lewat humor yang getir dan suasana yang perlahan menyesakkan.

Ia menertawakan absurditas modern. Mempertontonkan ketika kejujuran sering kalah oleh penampilan, dan empati bisa dibeli seperti jasa profesional.

Kehilangan Diri

Sama seperti film-film Wenger sebelumnya, Peacock memadukan komedi satir dengan kegetiran eksistensial. Matthias bukan tokoh jahat, hanya manusia yang terlalu terbiasa hidup untuk orang lain.

Ia menjalani setiap peran dengan presisi, tapi justru kehilangan naskah untuk hidupnya sendiri. Ketika ia mencoba berhenti berpura-pura, dunia di sekitarnya malah tampak semakin palsu.

Temannya, David (Anton Noori), menyarankannya untuk ikut retret spiritual, berharap Matthias bisa “menemukan dirinya kembali”.

Namun, pencarian itu malah menyeretnya ke dalam absurditas yang lebih dalam. Anjing sewaan, klien-klien aneh, hingga pertemuan dengan Ina (Theresa Frostad Eggesbø), perempuan yang membuatnya hampir percaya bahwa ia masih punya sisi manusiawi.

Wenger mengarahkan film ini dengan gaya yang dingin namun berlapis. Banyak adegan yang tampak biasa di permukaan, tapi sebenarnya mengandung kritik sosial tajam terhadap budaya perfeksionisme dan pencitraan.

Baca juga: Review V for Vendetta: Tutorial Melawan Kekuasaan Dzolim

Ada ironi yang menempel kuat, manusia modern, dengan segala pencapaian dan teknologinya, justru semakin kehilangan arah tentang siapa dirinya.

Visual Peacock terasa klinis namun elegan, pencahayaan lembut dan warna yang terkadang steril membuat dunia Matthias seperti di antara realitas dan panggung teater.

Dalam ruang-ruang rapi dan simetris itu, Wenger menyorot absurditas hidup pekerja urban yang terus bermain peran agar diterima, bahkan ketika tidak ada penonton.

Albrecht Schuch Tampil Gemilang

Albrecht Schuch tampil luar biasa sebagai Matthias. Ia bukan sekadar berakting, melainkan menelanjangi lapisan psikologis tokohnya.

Dari tatapan kosong hingga senyum kikuk yang tak pernah benar-benar sampai ke mata, Schuch membuat kita percaya bahwa Matthias memang kehilangan dirinya sedikit demi sedikit.

Penampilannya mengingatkan pada karakter-karakter karya Ruben Östlund, dingin, kikuk, tapi sarat makna. Tak heran jika Peacock kerap dibandingkan dengan The Square.

Baca juga: Review Parasite (2019): Perlawanan Kelas Bawah atas Keserakahan Kapitalis

Namun, Peacock di tangan Wenger berhasil memberi sentuhan khasnya sendiri, lebih intim, lebih getir, dan lebih jujur.

Yang membuat Peacock istimewa bukan hanya karena ide “krisis identitas” yang diangkatnya, tapi bagaimana film ini menyorot sisi manusia yang sering terlupakan.

Ia tidak sekadar bertanya, “Siapa dirimu?”, namun “Berapa lama kau bisa bertahan menjadi orang lain sebelum dirimu benar-benar lenyap?”

Pertanyaan itu terasa relevan di era media sosial, ketika setiap orang bisa menciptakan versi ideal dirinya di dunia maya, namun kehilangan arah ketika harus menatap cermin.

Film ini mungkin tidak mudah dicerna bagi penonton yang mencari hiburan ringan. Namun bagi mereka yang gemar merenung, Peacock menawarkan pengalaman yang tajam dan reflektif.

Wenger mengajak kita menyelami absurditas zaman modern dengan humor yang kering, dialog yang menyentuh, dan simbolisme yang menggigit.

Pada akhirnya, Peacock adalah cerita tentang seorang pria yang kehilangan identitas karena pekerjaannya. Juga peringatan lembut tentang bahaya hidup dalam kepalsuan yang kita bangun sendiri.

Peacock adalah tentang bagaimana peran sosial, ekspektasi, dan kebutuhan untuk diterima bisa perlahan menghapus makna keberadaan kita.

Seperti seekor burung merak yang sibuk memamerkan bulu indahnya, kita sering lupa bahwa warna-warni itu hanya kulit luar.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

Peacock (2024)

Rekomendasi film

review film



logo jurnalistika
Tentang KamiRedaksiKontak KamiTangerang SelatanAdvertorial

Langganan newsletter

Update berita langsung ke email Anda.

Copyright © 2025 Jurnalistika.id 💚 PT. Sahabat Jurnalistik Media. All rights reserved.